Di Balik Ngototnya Pemerintah Menaikkan Harga BBM

Jakarta (salam-online.com): Pemerintah berencana menaikkan harga BBM per 1 April mendatang. Tapi unjuk rasa menentang rencana itu sudah marak sejak hampir sebulan yang lalu. Artinya, sebelum kenaikan itu hari-hari republik ini sudah dijejali berita-berita demo menentang kenaikan harga BBM—baik di Jakarta maupun daerah.

Aneh, memang, kenapa harus memberi tahu jauh-jauh hari? Bukankah dampaknya sangat besar? Pertama, unjuk rasa tak bisa dibendung, karena para pendemo sudah tahu rencana kenaikan. Kedua, harga-harga kebutuhan akan naik lebih dulu. Padahal di era Soeharto rencana kenaikan harga BBM tak dilempar ke publik, tapi langsung diumumkan pada  malam hari—tanpa pemberitahuan sebelumnya. Itu mencegah pihak-pihak yang ingin menimbun minyak, juga meniadakan unjuk rasa sebelumnya. Meskipun setelah pengumuman kenaikan itu muncul demo-demo.  Tapi setidaknya mencegah harga-harga kebutuhan lainnya naik terlebih dahulu.

Era sekarang, seperti biasanya jauh sebelum BBM naik, harga-harga  seperti sembako sudah goodbye lebih dulu untuk meroket. Mereka yang kehidupan ekonominya pas-pasan otomatis budget pengeluarannya bertambah, sementara pemasukan tetap. Nanti, jika harga BBM sudah naik, pengeluaran yang ekonominya pas-pasan tadi praktis lebih banyak lagi, padahal income tak jua  bertambah. Lalu, bagaimana pula mereka yang ekonominya lebih di bawah lagi?

Mereka yang pas-pasan praktis ekonominya menjadi di bawah standar, dan yang tadinya di bawah pas-pasan, makin miskin. Karenanya, logis saja jika disebutkan, kenaikan harga BBM akan menambah jumlah orang miskin.

Policy pemerintah menaikkan harga BBM—dengan alasan naiknya harga minyak dunia—ditentang sejumlah kalangan—pengamat, ekonom, pengusaha. Alasan kenaikan lantaran harga minyak dunia yang terus  melambung tak sepenuhnya dapat diterima. Mengapa?

Indonesia adalah salah satu Negara penghasil minyak. Sayangnya, kekayaan minyak itu tak dikelola serius. Ini negeri menjual minyak mentahnya ke pasar dunia, lalu setelah diolah pihak luar, kita beli lagi dengan harga  yang, tentu saja, jadi berlipat-lipat. Ini agak aneh, memang, punya kekayaan sendiri dijual ke orang lain, dan setelah diolah, kita beli lagi. Kenapa tidak kita sendiri yang mengolahnya?

Dengan cara demikian, terang saja ini republik jadi kelimpungan menghadapi naiknya harga minyak dunia. Padahal kalau kita kelola sendiri minyak mentah yang dihasilkan negeri ini, tak perlulah kita panik karena melambungnya harga minyak dunia. Dan, dengan sendirinya tak perlu menaikkan harga BBM.

Itu satu hal. Hal lainnya, dengan dalih tak mungkin lagi mensubsidi lantaran makin defisitnya anggaran, maka menaikkan harga BBM adalah satu-satunya jalan. Nah, lucunya pemerintah membuat policy mengeluarkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk masyarakat miskin yang terkena dampak langsung akibat kenaikan harga BBM itu. Rencananya,  warga miskin akan menerima BLT  Rp 150.000 perbulannya selama 9 bulan.

BLT, selain tak mendidik dan akan membangun mental pengemis, lebih dari itu adalah betapa janggalnya kebijakan ini. Janggalnya, seperti dikatakan Wakil Ketua DPR Anis Matta yang partainya (PKS) menolak kenaikan BBM ini, “Kalau kita menaikkan harga BBM, lalu  membuat kompensasi  (BLT, red), itu artinya hanya pindah dari kantong kanan ke kantong kiri.”

Iya, ini memang boleh dibilang merupakan policy aneh. Bagaimana tidak. KIita menaikkan harga BBM—artinya mencabut subsidi—tapi kemudian hasilnya diberikan kepada warga miskin yang terkena dampak kenaikan harga BBM itu. Lho, jika demikian, buat apa menaikkan harga BBM? Lebih baik tak usah naik, sehingga tak perlu pula mengeluarkan BLT.

Baca Juga

Lebih dari itu, harga BBM tak perlu naik, jika, pertama, hasil minyak mentah kita tak dilempar ke luar, lalu kita ‘masak’ sendiri di dalam negeri—sehingga kita tak perlu membeli kembali. Kedua, eksekutif, legislatif dan yudikatif, harus bisa menahan diri, jangan melakukan pemborosan. Selama ini publik menyaksikan, pemerintah, DPR, yudikatif, sama saja, boros. Lihat contohnya, pemerintah membeli pesawat kepresidenan hampir 1 trilyun rupiah. Padahal Malaysia dan Brunei yang kehidupannya makmur saja, pesawat untuk pemimpinnya cukup produk Indonesia (PT Dirgantara Indonesia). Mereka menggunakan pesawat CN-235. Mengapa kita berfoya-foya dan berboros ria dengan memesan pesawat buatan Amerika yang harganya jauh berlipat-lipat dari CN-235? Apakah kita tak malu, Negara lain saja menggunakan produk kita?

Itu contoh borosnya pemerintah. Belum lagi DPR dan yudikatif yang, rasanya seperti tak enak, kalau tak menghambur-hamburkan uang. Padahal negeri ini  banyak memerlukan dana untuk pembangunan gedung sekolah, pembangunan rumah rakyat, perbaikan jembatan, jalan, dan sebagainya untuk kepentingan umum. Tapi, anehnya, pemerintah tak hirau dengan kebutuhan yang berkaitan dengan rakyatnya. Malah mereka hidup dengan anggaran yang dihambur-hamburkan untuk sesuatu yang tidak mendesak, tidak urgen.

Ketiga, andai tak dikorup, maka anggaran negeri ini bisa lebih dari cukup. Sekolah bisa benar-benar gratis sampai perguruan tinggi. Kesehatan pun demikian. Berobat gratis. Artinya, dengan tidak menghambur-hamburkan uang dan tidak pula mengkorupnya—apalagi  merampoknya secara berjamaah—maka kehidupan rakyat yang sejahtera itu bukan mimpi. Tapi akan jadi kenyataan.

Tapi bagaimana rakyat ini hidupnya nyaman, jika pemerintah, legislatif, yudikatif dan pemimpin-pemimpinnya  gemar menghambur-hamburkan anggaran dan bahkan merampoknya secara berjamaah pula. Keempat, meningkatkan penerimaan pajak–tapi jangan dikorup! Dan, masih banyak lagi cara lain untuk menutupi defisit anggaran, tanpa harus menaikkan harga BBM yang efeknya sangat besar bagi kehidupan rakyat kebanyakan–utamanya rakyat yang hidupnya pas-pasan dan miskin.

Jadi, sebenarnya jika pemerintah, DPR dan yudikatif ini serius mengelola republik ini, tak perlulah menaikkan harga BBM. Toh semua protes, kritikan dan unjuk rasa—baik di Jakarta maupun di berbagai daerah—tak membuat pemerintah menyerah. Pokoknya BBM tetap akan naik 1 April Mendatang. Meskipun upaya “meredam” suara mahasiswa dengan cara mengajak “jalan-jalan” dengan mengikutsertakan BEM UI dan BEM Unpad, misalnya,  dalam kunjungan Presiden SBY dan rombongan ke China tak membuahkan hasil–lantaran mereka menolak ajakan itu.

Di balik ngototnya pemerintah, sejumlah dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Rabu (21/3), menduga kebijakan ini disebabkan adanya tekanan asing pada pemerintahan SBY. Tekanan ini bertujuan agar asing menguasai sektor pertambangan di Indonesia dari hulu hingga hilir.

Para dosen yang tergabung dalam Pusat Studi Energi dan Mubyarto Institue ini menilai kebijakan pemerintah tidaklah cerdas. Mereka memandang itu hanya akan menyengsarakan rakyat. Seharusnya, menurut mereka, untuk mengatasi krisis energi pemerintah dapat menghemat subsidi dengan mengambil langkah lebih bijak seperti penghematan energi, pemanfaatan energi terbarukan, dan sebagainya.

Dari penelitian yang dilakukan, pihak asing menginginkan harga BBM mencapai tingkat keekonomian agar SPBU-SPBU mereka yang sepi pembeli dapat bersaing dengan SPBU lokal.

Melihat realitas di atas, sesungguhnya masih banyak opsi dan solusi, sehingga pemerintah tak perlu menaikkan harga BBM, kecuali jika pemimpin dan pengelola republik ini tak berpihak pada rakyat dan bangsanya sendiri, tapi lebih tunduk pada kemauan asing!

 

 

 

 

 

Baca Juga