ANALISA (salam-online.com): Sumber surat kabar The Independent menyebutkan, Kementerian Luar Negeri Amerika sebenarnya sudah tahu akan adanya target penyerangan di Kota Benghazi dan Kairo, 48 jam sebelumnya. Tetapi tidak ada satu pun anggota diplomat yang diingatkan untuk berjaga-jaga. Mengapa?
Bahkan surat kabar The Daily Mail melaporkan, Jumat (14/9/2012), serangan di Benghazi merupakan pekerjaan orang dalam. Beberapa orang dari Kementerian Luar Negeri Amerika sudah mengetahui akan adanya aksi penyerangan dua hari sebelumnya.
Tapi kenyataannya mereka memilih untuk tidak melakukan tindakan pencegahan. Mengapa?
Sejumlah analis menyebut unsur kesengajaan ini–dengan mengorbankan dubes dan 3 staf kedutaan–sebagai pilihan Zionis-Amerika untuk membangkitkan kembali semangat permusuhan dengan Islam yang belakangan mulai meredup.
Peledakan WTC 11 tahun lalu dianggap sudah semakin melemah untuk terus dijadikan alasan memburu “teroris” dan perang global. Terutama, setelah banyak pihak yang merasa peristiwa 11 September 2001 itu tak murni dilakukan oleh kelompok Islam “garis keras” semisal Al-Qaidah.
Terutama, banyak yang tak sepenuhnya percaya setelah diberitakan 4000 Yahudi kompak tak masuk berkantor di WTC pada tanggal kejadian yang meluluhlantakkan gedung kembar itu. Belakangan, tambah ke sini publik Amerika diberitakan semakin distrust atas penyebutan dalang penyerangan 11 September tersebut.
Informasi yang menyebut Mossad-CIA berada di balik serangan 11 September itu dengan tujuan untuk melancarkan AS berperang dengan “teroris”, nyatanya, memang, sekarang sudah mulai kehilangan gregetnya.
Untuk itu perlu dibikin sknario baru sebagai dalih Amerika untuk kembali lebih intens memburu apa yang mereka sebut sebagai “teroris”–yang sesungguhnya adalah “proyek” memerangi Islam.
Film yang semula berjudul “Desert Warriors”–dan awal dibuat tak ada hubungannya dengan Islam–sebenarnya sudah diputar di Amerika beberapa bulan sebelumnya, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, lalu “diledakkan” dan berhasil memancing kemarahan umat Islam di berbagai negara, itu tak berdiri sendiri.
Bahwa si produser dan sponsornya adalah orang-orang Yahudi Amerika pun bukan merupakan satu kebetulan–sebagaimana tak masuk kantornya sekitar 4000 orang Yahudi saat peledakan WTC, yang juga bukan satu kebetulan.
Karena, ternyata belakangan diketahui ada instruksi dari “Koordinator Yahudi” untuk tak mengantor bagi orang-orang Yahudi khusus di tanggal itu.
Bagaimana mungkin bisa disebut sebagai kebetulan manakala sekitar 4000-an orang Yahudi kompak tak masuk kantor pada tanggal itu? Semua itu ada jalan ceritanya. Lantas, apa yang diinginkan dari skenario “Innocence of Muslims” ini?
Ada tiga tujuan atau target “diledakkan”nya film ini. Pertama, untuk menciptakan reaksi keras dari kalangan Islam dan memancing apa yang mereka sebut sebagai kalangan garis keras di berbagai negara yang sudah mereka tandai berdiamnya kaum “radikalis” itu.
Kedua, untuk meneruskan semangat memerangi Islam yang mereka perhalus (sebetulnya kasar) menjadi perang melawan “teroris”. Zionis Yahudi yang berada di belakang cerita ini tak rela jika semangat memerangi Islam itu menjadi kendor, sehingga perlu dibuat lagi pemicunya.
Ketiga, secara spesifik, bagaimanapun peperangan terhadap Al-Qaidah harus berlanjut. Karenanya, pernyataan bahwa Al-Qaidah di balik serangan Benghazi itu adalah satu realitas yang harus dikembangkan.
Jadi, inilah yang mereka inginkan atas kemarahan dan reaksi keras dari umat Islam itu. Reaksi keras dari kelompok-kelompok Islam–terutama dari apa yang mereka sebut sebagai ‘garis keras’–bermunculan di sejumlah negara, memprotes film menjijikkan itu. Dari sini mereka akan melihat dan menandai, negara-negara mana saja sesungguhnya yang kelompok “garis keras”nya potensial untuk dijadikan “target”.
Maka, ada alasan bagi AS untuk kembali mengintesifkan peperangan ini, setelah dubes dan 3 diplomatnya tewas akibat serangan yang disulut oleh “Innocence of Muslims” produk Yahudi Amerika itu. Karenanya tak heran, beberapa saat setelah insiden Benghazi-Libya, pihak AS buru-buru menyatakan Al-Qaidah di balik serangan ini.
Adapun reaksi keras dan kemarahan umat Islam itu mereka anggap hanya temporer, dengan sendirinya akan hilang. Tetapi Zionis-AS akan terus mencari simpati dengan terbunuhnya dubes beserta 3 staf kedutaan di Libya.
Itu terbukti di beberapa negara Arab sudah muncul demo mengutuk serangan yang menewaskan Dubes AS dengan 3 staf kedutaannya. Bahkan sekarang Zionis dan AS tengah “menikmati” bentrokan para demonstran dengan aparat keamanan masing-masing negara yang rakyatnya berunjukrasa memprotes film menyesatkan itu.
Tak berhenti sampai di situ. Ada lagi alasan AS untuk masuk ke dalam negara yang mereka curigai dan tandai sebagai “kemasukan teroris”.
Tak lama setelah aksi penyerangan Konjend di Benghazi itu, Obama langsung mengirim pasukan khusus dari detasemen antiteror dengan dalih untuk melindungi diplomatnya.
Ini akan terus menyasar ke negara lainnya, terutama di negara yang mereka anggap “tak aman” bagi diplomat dan warga mereka.
Mengapa Benghazi? Dipilihnya Kantor Konsulat Amerika di Benghazi, lantaran relatif mudah sebagai tempat penyerangan demonstran, sehingga “permainan” ini tak kelihatan mencolok. Di kantor ini tidak dilengkapi perlengkapan untuk menghalau kerusuhan, juga tidak ada kaca anti peluru dan pintu yang kuat.
Di kabarkan, sebuah dokumen penting telah hilang dari kantor konsulat akibat penyerangan itu. Hilangnya dokumen tersebut, dikhawatirkan memberikan potensi ancaman bagi kepentingan Amerika Serikat.
Apa sebenarnya isi dokumen penting itu? Siapa yang mencuri dokumen itu? Tentu ini berhubungan dengan orang-orang yang mengatur jalannya cerita ini.
Dalam konspirasi, selalu ada serpihan-serpihan kepentingan yang memboncenginya. Maka, dokumen yang hilang, yang disebut sebagai dokumen penting itu, belakangan dipercayai berisi nama-nama orang Libya yang berkerja untuk Amerika Serikat dan informasi kontrak minyak.
Selain itu, penyerangan ini dipercaya–dan bisa jadi akan dikembangkan sebagai balasan atas pembunuhan pemimpin Al-Qaidah di Pakistan.Persekongkolan ini makin menemukan alur ceritanya manakala “Innocence of Muslims” diyakini bakal dapat melanjutkan jalan 11 September yang sudah mulai redup itu–meskipun tidak sedahsyat peledakan WTC.
Film ini pernah ditayangkan di salah satu bioskop di kawasan Hollywood, AS, sekitar 3 bulan lalu. Namun setelah itu film ini menghilang tanpa jejak. Hingga pada akhirnya muncullah versi bahasa Arab yang dirilis pekan lalu dan cuplikannya ditayangkan oleh televisi Mesir yang kemudian memancing protes.
Dimunculkannya film ini di tengah suasana “memperingati” 11 September, 11 tahun yang lalu, dan tewasnya Dubes AS beserta 3 staf kedutaan di Benghazi, Libya, pada tanggal yang sama (11 September), juga bukan kebetulan.
Dan, bla bla, dikaitkannya dengan pilpres Amerika tahun ini boleh-boleh saja. Sebuah peringatan untuk kandidat presiden: peperangan terhadap Islam harus berlanjut jika mau jadi Presiden AS.
Mengapa cerita ini kelihatan sekali konspirasinya? Ini diawali dengan kejanggalan tentang film yang biaya produksinya relatif murah. Dimulai dari sosok pria yang disebut-sebut sebagai sutradara sekaligus produser film ini yang tampak misterius hingga protes para pemain dan kru film yang mengungkap ternyata film itu tak sesuai dengan cerita saat mereka syuting.
Mereka kaget, lantaran hasil akhir film itu menjadi propaganda anti-Islam dimana suara mereka didubbing–tak sesuai dengan cerita aslinya. Itu belum lagi dengan judul film yang jauh sangat berbeda dengan judul semula. Intinya film ini menjadi bertolak belakang dengan yang mereka perankan.
Dalam artikel Wall Street Journal yang diterbitkan Selasa (11/9/2012) lalu, pria yang disebut bernama Sam Bacile itu memberikan komentar dan pernyataan soal polemik dan kontroversi yang menyertai film ini.
Kepada Wall Street Journal, Bacile mengaku dirinya seorang warga negara Amerika keturunan Israel dan mendapatkan sumbangan dari para penganut Yahudi untuk biaya film ini. Toh hingga saat ini keberadaan Bacile masih misterius.
Sejumlah kecurigaan terhadap identitas Bacile pun menyeruak. Seorang konsultan film AS, Steve Klein, menyebut bahwa Sam Bacile merupakan nama samaran belaka. Tidak ada yang mengetahui secara pasti identitas sutradara ‘Innocence of Muslims’ tersebut. Ya, itu tadi, namanya juga cerita dan nama yang dibuat palsu. Dan, namanya juga “Proyek Intelijen”.
Lalu, berhasilkah “proyek” ini? Wait and see saja dulu… Karena, skenario Allah jauh lebih dahsyat, tak ada siapapun yang bisa menandingi-Nya. Allah Maha Berkuasa atas makhluk-Nya. Wallahu A’lam. (isa/salam-online)