Jakarta (salam-online.com): Berkeringat dan berdarah-darah republik ini dulu diperjuangkan. Nyawa dan gerbang elmaut senantiasa mengintai para pejuang dan mujahid. Barisan kaum Muslimin mulai dari basis pesantren, kaum cendekia (ulama) dan para pemimpin umat dari desa sampai kota, senantiasa berada di front terdepan.
Maka, jika ada segelintir generasi berikutnya ‘bermain-main’ dan merasa memiliki negeri ini—tanpa keringat dan bersimbah darah—dan tanpa mau tahu siapa sesungguhnya yang memperjuangkan republik ini, itu namanya tak tahu diri!
Karena itu, jika saat ini “di atas singgasana sana” terus ribut berebut “kue kuasa”, berebut “hak milik rakyat” seraya mengabaikan jeritan rakyat yang sudah nelangsa, ditambah rencana naiknya harga BBM yang kapan saja bisa dilakukan pemerintah tanpa harus mendapat persetujuan DPR, sungguh amat sangat keterlaluan! Di tengah suasana bising saat ini, terbongkarlah persekongkolan demi keuntungan diri dan kelompok dengan cara melakukan deal-deal politik seraya mengorbankan hak-hak rakyat yang tak menginginkan naiknya BBM bersubsidi.
Benarkah? Deal-deal apa gerangan? Untuk itukah Partai Demokrat, Golkar, PAN, PPP dan PKB memenangkan rencana pemerintah itu dengan dukungan 356 suara, mengalahkan suara PDIP, Hanura, Gerindra dan PKS—empat partai yang menolak naiknya harga BBM?
Meskipun 1 April lalu sementara harga BBM bersubsidi batal naik—karena menunggu harga minyak dunia di atas 120 dolar perbarelnya—tapi sekarang ketidakpastianlah yang diperoleh rakyat. Kendati masih banyak cara, opsi dan solusi, sehingga pemerintah tak perlu menaikkan harga BBM, toh itu tak diminati partai koalisi bersama pemerintah, khususnya Demokrat dan Golkar—PPP, PAN, PKB ikut karena sebagai anggota koalisi bersama pemerintah. Adapun PKS, yang, meskipun anggota koalisi, tapi lebih memilih aspirasi rakyat ketimbang mengikuti keinginan pemerintah dengan partai koalisinya.
Setelah pengamat politik Yudi Latif menyebut ada deal-deal dan konsesi politik semisal besaran parliamentary threshold (PT) yang pembahasannya di DPR belum selesai dan pemaparan pengamat politik Gun Gun Heryanto dari UIN Syarif Hidayatullah tentang ‘kue’ bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) senilai Rp 17 trilyun, kemarin, Rabu (4/4/12) giliran pengamat ekonomi Hendri Saparini menguak tentang RUUAPBN-P yang sudah disahkan menjadi UUAPBN-P 2012, khususnya di Pasal 18.
Seperti ditulis detikcom (5/4/12), setelah Pasal 7 ayat 6 (a) tentang BBM, Pasal 18 di APBN-P kini menjadi polemik. Perubahan dan tambahan di UU yang baru saja disahkan itu menuai gosip adanya deal antara Partai Demokrat (PD) dengan Golkar. Yang menjadi perdebatan adalah isi Pasal 18 APBN-P dimana area di luar peta berdampak musibah lumpur Lapindo di Sidoarjo kini bisa dibayari pemerintah lewat peraturan presiden (Perpres).
Ternyata, dalam APBN-P 2012 terdapat perubahan, yaitu tambahan ayat c. Di poin itu disebutkan bahwa bantuan rumah dan tunjangan hidup di luar peta berdampak bisa diatur lewat Perpres. Ini mengubah kebijakan sebelumnya dimana pemerintah hanya membayari wilayah di dalam peta berdampak, yang padahal ini pun sangat aneh, kenapa harus menjadi tanggung jawab pemerintah, sehingga APBN yang notabene adalah uang rakyat yang harus dikeluarkan?
Pengamat ekonomi Hendri Saparini menyebut tak kurang Rp 1,9 trilyun akan dgelontorkan untuk korban Lapindo. Bisa jadi banyak publik yang tak tahu bahwa APBN republik ini ternyata membayari lumpur Lapindo–baik area berdampak maupun area di luar peta berdampak. Jika benar, bahwa ini adalah deal-deal yang disepakati antara Demokrat dan Golkar—selain kemungkina deal-deal lainnya yang sudah disebut Yudi Latif dan Gun Gun—maka jelas amat sangat disayangkan. Sebab, demi kepentingan segelintir elit di negeri ini, kepentingan rakyat yang tak menginginkan naiknya harga BBM bersubsidi diabaikan.
Toh cerita ini dibantah Wakil Ketum Golkar Agung Laksono. Menurutnya, tak ada deal-deal antara Golkar-Demokrat dengan membarter isu BBM dengan lumpur Lapindo (detikcom, 5/4/12). “Tak ada, tak ada, itu cuma isu,” bantahnya–meskipun dalam UU APBN-P pada Pasal 18 nyata-nyata ada perubahan dan penambahan klausul yang menyebut soal lumpur Lapindo.
Jika Aburizal Bakri, SBY, dan elit lainnya di koalisi menyebut mau tak mau harga BBM bersubsidi harus naik untuk kepentingan rakyat, logikanya di mana? Logika yang dipaksakan! Selama 7 tahun SBY menjadi presiden, toh harga minyak dunia turun naik. Toh kondisi Indonesia biasa-biasa saja. Saking ingin memasukkan logika kenaikan harga BBM bersubsidi, cerita mobil mewah alphard ‘minum’ bensin bersubsidi pun dijadikan isu hangat, padah itu sangat tidak signifikan. Iyalah, mobil mewah mengonsumsi BBM besubsidi-yang belakangan disebut sebagai settingan–itu tak relevan dikaitkan dengan alasan menaikkan harga BBM dengan alasan subsidi BBM diterima oleh mereka yang tidak berhak. Yang sangat relevan, naiknya harga BBM bersubsidi, itu sangat terang melahirkan efek domino.
Jelas-jelas, jika harga BBM bersubsidi naik, itu efek dominonya ke mana-mana, masak dikatakan untuk kepentingan rakyat! BBM bersubsidi belum naik saja, harga sembako sudah melambung, bagaimana jika harga BBM benar-benar naik? Itu baru harga sembako. Belum lagi efek transportasi—angkutan umum— yang tak mungkin bertahan dengan harga BBM yang sudah naik. Belum lagi efek kemungkinan besar timbulnya PHK massal bagi para buruh pabrik, dan sebagainya, lantaran pengusaha tak bisa bertahan dengan harga BBM yang sudah berubah.
Singkat kata, efek dominonya ke segala arah. Yang semula tak masuk kategori miskin, menjadi miskin. Yang sudah miskin jadi melarat! Karena itu, wajar saja, dalam sebuah survey dikatakan, dampak naiknya harga BBm bersubsidi akan menambah daftar orang miskin. Jadi, bagaimana logikanya, penaikan harga BBM bersubsidi akan mensejahterakan rakyat?
Jangan bermain-mainlah dengan kepentingan rakyat. Republik ini bukan milik segelintir orang atau kelompok tertentu saja. Jangan mentang-mentang sedang berkuasa, lalu sekehendak hati, dengan berlindung di bawah UU, nekat mengutak-atik keinginan sepihak, dengan mengabaikan aspirasi publik.
Cukup sudah publik menyadari dan menyesal, karena arah perjalanan dalam kita berbangsa dan bernegara tak sesuai dengan cita-cita para pendiri dan pemegang saham negeri ini.Inilah akibat para pejuang dan pemimpin negeri ini kala itu, setelah menghantarkan kemerdekaan, gagal menyerahkan dan menuntaskan estafet kepemimpinan kepada yang lebih berhak. Dampaknya, sampai sekarang republik ini belum juga mendapatkan para pemimpin yang didukung oleh sistem yang menjiwai mayoritas penduduk negeri ini.
Karena itu, sampai sekarang, bangsa ini hidup dalam kehinaan—di bawah kendali asing dimana kekayaan alamnya mereka kuasai. Dan, para komprador serta pengkhianat bangsa ini hidup nyaman di bawah kendali dan ketiak asing karena turut mendapatkan jatah. Tak ubahnya saat dulu penjajah mendapat bantuan dari para pengkhianat negeri ini. Negeri dengan kekayaan alamnya yang beraneka macam, tapi rakyatnya hidup miskin dan melarat—sementara segelintir elitnya dan kelompok tertentu hidup bermewah-mewah–makanya mereka tak peduli naiknya harga BBM karena tak ada pengaruhnya bagi kehidupan mereka. Untuk itu, dengan seenaknya mereka utak-atik politik dan ekonomi negeri ini demi kepentingan mereka dengan kelompoknya. Memangnya negeri ini siapa punya!
Maka, yang kita saksikan, kebisingan saat ini bukannya urus rakyat yang sedang menjerit akibat naiknya barang kebutuhan pokok, tapi malah ribut tentang PKS yang sedang menunggu kata ‘talak’ dari SBY. PKS-nya didesak mundur agar menarik menteri-menterinya di kabinet, tapi yang didesak mundur bilang menunggu ‘kata putus’ langsung dari Presiden SBY, eh sang presidennya–sampai tulisan ini dibuat–belum juga berucap kata ‘cerai’–misalnya mengumumkan perombakan kabinet. Sementara yang lainnya terus berkicau! Ribut terus…! Rakyat tak diurus! Begitulah pemerintahan dan ketatanegaraan yang tak mengacu pada sistem dan nilai ilahiyah! Berantakan!
Keterangan Foto: Anggota DPR yang menolak naiknya harga BBM (Yudhi Mahatma/Antara) & GFP