OMDO!
SUDUT PANDANG (salam-online.com): Ingin dilayani, tak melayani. Kalimat ini sudah popular di kalangan publik, ditujukan ke pejabat dan birokrat.
Memegang sebuah jabatan, lalu menyampaikan kebijakan dan jumpa pers, setelah itu berlalu tanpa tindak lanjut. Itu sudah biasa.
Sebentar lagi kita memasuki Ramadhan. Biasanya menjelang Ramadhan ini, para pejabat di lingkungan Pemda DKI, misalnya, menyatakan, “Mulai Ramadhan tahun ini Jakarta bebas dari gelandangan dan pengemis.”
Tapi, pernyataan di atas cuma omong doang alias omdo. Karena, setelah itu tak ada followupnya. Hanya lip-service. Faktanya, gelandangan dan pengemis (gepeng) tetap berseliweran, bahkan makin bertambah sehabis lebaran.
Contoh lain omdo-nya birokrat dan pejabat, dalam mengatasi kemacetan di Jakarta. Seorang pejabat menyatakan, “Untuk mengatasi kemacetan di Jakarta, maka kita akan menutup sejumlah putaran. Misalnya putaran di sepanjang Jalan Raya Pasar Minggu…”
Tak usah ditunggu realisasinya, karena itu cuma omdo. Buktinya tak ada tindak lanjut dari pernyataaan itu. U-turn di Jalan Raya Pasar Minggu yang membuat macet itu tetap memacetkan alias tak ada perubahan, tak ada penutupan putaran.
Contoh lain lagi, seorang Menteri di sebuah kementerian pernah berjanji akan membubarkan Ahmadiyah yang dinilai sesat dan menyesatkan. Saat itu dalam suasana Ramadhan, sang Menteri menjanjikan pasca lebaran akan melakukan koordinasi untuk pembubaran itu.
Lagi-lagi, itu cuma omdo. Nyatanya Ahmadiyah sampai sekarang tak dibubarin.
Lantas, berapa kali kita mendengar setiap Ramadhan atau jelang lebaran, sang Menteri berjanji akan membahas dan menyatukan perbedaan awal Ramadhan (ketika terjadi perbedaan awal Ramadhan atau Idul Fitri). Ba’da lebaran, tak dibahas-bahas lagi sampai ketemu lagi dengan Ramadhan berikutnya.
Menterinya omong lagi akan membahas masalah perbedaan untuk menyatukan awal Ramadhan dan Idul Fitri, dengan mengumpulkan para pakar. Sampai sekarang tak pernah terdengar pembahasan itu.
Mau contoh lain? Masih banyak. Lihat saja, pengusutan kasus KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) atau yang dihaluskan menjadi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang lebih 600 trilyun rupiah itu, hanya sebatas omongan dan pernyataan.
Para cukong kakap yang menggasak ratusan trilyun itu tak jua tersentuh. Buron ke luar negeri setelah menjarah uang rakyat dan Negara. Yang ditangkap cuma yang kelas teri. Itu pun dari unsur pejabat, bukan si perampok atau para pemeran utamanya.
Aha, boro-boro yang besar-besar, yang kecil-kecil saja pun cuma sebatas omongan. Itu lho, janji untuk membuka kasus Century. Omdo! Sampai sekarang tak jelas.
Dan, aturan pun tinggal aturan. Di Jakarta, beberapa tahun lalu Perda larangan merokok di ranah publik dikeluarkan. Tapi, amboi…tak dilaksanakan. Tak ada sanksi bagi yang melanggar. Di gedung-gedung perkantoran, sejumlah mall dan pusat perbelanjaan, bandara, halte, terminal, angkutan umum, dan lainnya, Perda itu tak ngefek. Yang tak merokok, haknya untuk hidup sehat (tidak menjadi perokok pasif yang menerima kepulan asap dari perokok) tak dipenuhi. Karena, Perda-nya pun mandul, ikutan omdo juga!
Sederet contoh omdo lainnya tak mungkin dirilis semua. Cerita di atas hanya beberapa contoh dari birokrat dan pejabat yang omdo! Lalu, apakah para birokrat dan pejabat itu digaji (dengan uang rakyat) hanya untuk omdo atau mengeluarkan kebijakan yang tak berpihak pada rakyat?
Begitulah kisah suatu negeri yang tak diatur dalam bingkai Islam.
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah jika kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan,” (QS Ash-Shaf: 2-3).