KONFLIK Islam (Ahlu Sunnah)-Syiah di Sampang yang beberapa kali mencuat ke permukaan, tidak bisa dipisahkan dari sosok Tajul Muluk—alias Ali al-Murtadho—yang belum lama divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Sampang, Madura.
Tajul dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Ia dinilai terbukti melanggar Pasal 156 a KUHP tentang penistaan agama karena telah menyebarkan ajaran sesat. Tajul dinilai telah mengajarkan ajaran sesat dengan menistakan kitab suci Al-Qur’an yang digunakannya untuk mengajarkan muridnya di pondok pesantren.
Desember 2011 lalu, sejumlah massa membakar komplek Tajul di Dusun Nang Kernang, Kecamatan Oben Sampang, Madura, Jawa Timur. Lalu, pada Agustus 2012 ini, meletus pula bentrokan yang jauh lebih massif dan menyita perhatian nasional, bahkan internasional.
Pada Catatan Akhir Pekan (CAP) ini ada baiknya kita mengenal sosok Tajul Muluk dan kiprahnya. Tulisan ini adalah ringkasan hasil penelitian Akhmad Rofii Damyati, MA, sarjana pemikiran Islam asal Madura, yang menulis Tesis Masternya tentang Konsep Ilmu Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas di Universiti Malaya, Kuala Lumpur.
Penelitian itu cukup konprehensif dan dilakukan pasca terjadinya peristiwa Desember 2011. Isinya masih cukup relevan untuk membantu memahami situasi saat ini. Secara lengkap, hasil penelitian ini telah diterbitkan oleh Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Press. Berikut kisah Tajul Muluk, sebagaimana dipaparkan oleh Akhmat Rofii Damyati, MA.
Tajul Muluk alias Ali al-Murtadho lahir di Sampang, 22 Oktober 1973. Ia anak kedua dari delapan bersaudara, putra dari pasangan almarhum Kiai Ma’mun bin KH Ach Nawawi dengan Nyai Ummah. Saudara tertuanya bernama Iklil al-Milal. Kemudian adik-adiknya secara berurutan adalah Roies al-Hukama’, Fatimah Az-Zahro’, Ummu Hani’, Budur Makzuzah, Ummu Kultsum, Ahmad Miftahul Huda.
“Ra Tajul”, begitu sapaan akrabnya di masyarakat, di masa remajanya pernah mondok di Ma’had Islami Darut Tauhid (MISDAT), asuhan KH Ali Karrar Shinhaji, di Lenteng Proppo, Pamekasan di tahun 1980-an. Setelah itu, Tajul melanjutkan pendidikannya di Yayasan Pendidikan Islam (YAPI), Bangil, sekitar tahun 1988-an, selama enam tahun.
Dari YAPI, Tajul sempat diberangkatkan ke Saudi Arabia menjadi TKI selama enam tahun. Di tempat kerja itu Tajul diduga banyak belajar dan mendalami ajaran Syiah Itsna ‘Asyariyyah.
Tajul juga aktif di organisasi Syiah di Indonesia, yaitu Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI). Posisi Tajul adalah PD (Pimpinan Daerah) IJABI Sampang. Tapi, IJABI di Sampang dan bahkan di Madura lebih bergerak di bawah tanah, dan tidak ditemukan dalam daftar ormas di Sampang. Diperkirakan, aktivitas IJABI di Sampang bermula seiring dengan gerakan Syiah yang dibawa oleh Tajul Muluk.
Bermodalkan kharisma sebagai keturunan dari Batuampar, Pasarean yang cukup terkenal di Madura pada khususnya, dan di seluruh Jawa pada umumnya, yang diziarahi oleh banyak orang, Tajul menyebarkan ajaran Syiah dengan mudah dibantu saudara-saudaranya. Diperkirakan, kurang lebih Jumlah pengikut Syiah di sini mencapai 400-an dari semua usia.
Program-program sosial yang dijalankan oleh Tajul juga cukup efektif, karena ia banyak membantu orang yang kekurangan.
Sebagai orang penting dalam penyebaran Syiah di Madura, Tajul mempunyai jaringan luas. Jaringan Syiah di Madura ini sudah cukup rapi dan menyebar ke semua kabupaten. Kemajuan pesat yang dicapai Tajul Muluk dalam mengembangkan Syiah menarik perhatian tokoh-tokoh Syiah, baik nasional maupun Internasional untuk berkunjung ke Sampang. Hanya saja, Roies – adik Tajul – mengaku lupa nama-nama mereka.
Rois menyatakan bahwa bukti-bukti empiris kesesatan ajaran Tajul Muluk sejak lama sudah diserahkan kepada Kepolisian Sampang sebagai barang bukti yang meliputi buku berjudul “Tsumma Ihtadaitu karya Dr Muhammad al-Tijani al-Samawi serta buku kecil “tuntunan praktik wudhu, adzan dan shalat”.
Buku-buku itu menurut Roies di dalamnya membahas rukun iman (terdiri dari lima rukun) dan rukun Islam (terdiri dari delapan rukun). Selain itu, telah dilampirkan bersama buku-buku tersebut doa-doa ziarah yang isinya melaknat terhadap para sahabat dan istri-istri Nabi Muhammad saw. Termasuk juga CD kesesatan ajaran Tajul Muluk.
Sepertinya, ajaran-ajaran sesat Tajul Muluk tersebut tidak jauh berbeda dengan teori-teori yang tertuang dalam rujukan utama kaum Syiah semisal “al-Kafi”, “Man la Yadhuruhul Faqih”, “Tahdzib al-Ahkam” dan “al-Istibshar”.
Sepulangnya dari Saudi, Tajul masih mempraktikkan ajaran Islam sebagaimana dipahami masyarakat pada umumnya. Namun kemudian, kira-kira tahun 2003, Tajul sudah mulai mengajarkan Syiah pada tahap awal, walaupun masih belum secara terang-terangan.
Pada tahun 2003-2004, ajaran Syiah mulai disebarkan secara terang-terangan. Di masa ini rekrutmen anggota Syiah semakin massif. Tahun 2004-2005 ajaran Syiah melalui Tajul Muluk mulai mencuat ke permukaan dan diendus oleh banyak orang di Omben bahwa Ra Tajul mempunyai cara-cara berislam yang aneh. Masyarakat sudah mulai beraksi akibat keanehan pada praktik-praktik ibadah Tajul.
Tahun 2006-2007, masyarakat mayoritas Islam akhirnya melakukan demo penolakan ke rumah Tajul. Desa Karang Gayam dan Blu’uran memanas. Di tahun itu juga para ulama pesantren Madura dan Pemerintah menerima aduan masyarakat mayoritas Islam dengan membawa 29 item tuduhan bahwa Tajul Muluk dan saudara-saudaranya sesat.
Pada 20 Februari 2006, para ulama se-Madura mengadakan rapat yang dihadiri juga Bapak H. Fadillah Budiono (Bupati sampang waktu itu) dan Bapak Imron Rosyidi (Ketua Depag Sampang saat itu) dengan agenda mengklarifikasi tuduhan-tuduhan tersebut kepada yang bersangkutan (Tajul bersaudara). Pada rapat itu Tajul Muluk beserta kawan-kawannya datang dengan membawa kitab-kitab rujukannya dan mengajak debat para ulama Madura di tempat itu.
Sementara rapat berlangsung, masyarakat di luar rapat masih terus memanas, berteriak-teriak agar menghajar saja Tajul dan teman-teman Syiahnya. Daripada suasana memanas, akhirnya, ulama tidak berpikir untuk membahas isi kitab-kitab yang disodorkan Tajul. Kemudian para ulama memutuskan untuk menyodori enam perjanjian kepada Tajul untuk selanjutnya ditandatangani di depan orang-orang yang hadir waktu itu.
Namun, Tajul Muluk meminta waktu untuk berpikir dan siap menjawab pada pertemuan selanjutnya. Selang beberapa hari dari pertemuan itu para ulama mengutus sebagian Kiai, dengan KH Abd. Wahhab Adnan sebagai ketua utusan untuk menemui Tajul di Masjid Landeko’ Desa Karang Gayam, tempat kediaman kakek Tajul, KH Ach Nawawi, bersama para ulama waktu itu, ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sampang (KH Mubassyir) dan Kapolsek Omben. Pertemuan itu untuk membujuk Tajul agar menerima 6 poin perjanjian tersebut dan hasilnya Tajul menerima.
Para ulama lalu menggelar pertemuan lanjutan, pada Ahad, 26 Februari 2006. Agendanya, mendengarkan jawaban Tajul. Sayangnya, Tajul tidak hadir. Kemudian para ulama, melalui Forum Musyawarah Ulama (FMU), mengeluarkan surat pernyataan yang menyatakan melepaskan diri dari urusan Tajul dan menyerahkannya kepada aparat yang berwajib.
Mereka juga menyatakan tidak bertanggung jawab atas segala apa yang akan terjadi di tengah-tengah masyarakat, dimana masyarakat sudah terlihat gusar dengan penyebaran ajaran Tajul tersebut. (baca: 22 Dakwaan yang Dituduhkan Pada Tajul Muluk).
Walaupun demikian, masih berharap adanya sifat akomudatif Tajul. Pada 26 Oktober 2009, MUI Sampang bersama Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sampang, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sampang, Kepala Departemen Agama (DEPAG) Sampang, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Sampang dan para ulama Sampang, mengadakan pertemuan untuk kesekian kalinya dengan Tajul.
Pertemuan ini diadakan di Mapolres Sampang untuk menyikapi dan mencarikan solusi terkait adanya paham Syiah yang berkembang di Desa Karang Gayam, Kec. Omben, Kab. Sampang.
Pertemuan ini menghasilkan lima poin yang ditandatangani Tajul di atas materai beserta elemen-elemen tokoh di atas. Ke lima poin kesepakatan itu adalah:
Pertama, bahwa tidak diperbolehkan lagi mengadakan ritual dan dakwah yang berkaitan dengan aliran tersebut (Syiah) oleh Sdr. Tajul Muluk karena sudah meresahkan masyarakat.
Kedua, bahwa Sdr. Tajul bersedia untuk tidak melakukan ritual, dakwah dan penyebaran aliran tersebut di Kabupaten Sampang.
Ketiga, bahwa apabila tetap melaksanakan ritual dan/atau dakwah maka Sdr. Tajul Muluk siap untuk diproses secara hukum yang berlaku.
Keempat, bahwa pakem, MUI, NU dan LSM di Kab. Sampang akan selalu memonitor dan mengawasi aliran tersebut.
Kelima, bahwa pakem, MUI, NU dan LSM siap untuk meredam gejolak masyarakat baik bersifat dialogis atau anarkis selama yang bersangkutan (Sdr. Tajul Muluk) menaati kesepakatan di poin 1 dan 2.
Perjanjian rupanya tidak berjalan. Ajaran Syiah tetap disebarkan di kampungTajul melalui polesan dakwahnya yang menawan hati masyarakat pengikutnya. Akibatnya, gesekan-demi gesekan dengan yang setia dengan paham Islam (Sunnah) semakin terasa.
Maka pada 8 April 2011, ulama beserta masyarakat melayangkan surat yang ditujukan kepada Bupati Sampang dengan tembusan kepada Kapolres Sampang, Dandim Sampang, Ketua DPRD Sampang, Kajari Sampang, Kakanmenag Sampang, Ketua Pengadilan Agama Sampang, Ketua PN Sampang, Ketua MUI Sampang, Kepala Bakesbang Sampang, yang ditandatangani oleh puluhan ulama dan ratusan tokoh masyarakat yang disertai dengan foto kopi KTP/SIM masing-masing sebagai jaminan keseriusan mereka. Isu Syiah Sampang ini kemudian semakin menemukan momennya dan mencuat ke isu nasional.
Oleh karena itu, pada hari Senin, 11 April 2011 M Mabes Polri pun turun gunung untuk menyelesaikan problem Syiah di Sampang ini. Akhirnya para ulama diundang Kapolres Sampang untuk bertemu dengan Mabes Polri beserta rombongan di PP Darul Ulum Gersempal, Omben, Sampang. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan sebagaimana berikut: (1) Tajul Muluk cs. harus angkat kaki dari Madura (2) Tidak menyebarkan pahamnya di kalangan masyarakat di Madura (3) Semua pengikutnya harus kembali bergabung dengan majlis ta’lim NU untuk dapat dibina kembali.
Senada dengan itu, pada 28 Mei 2011, MUI se-Madura mengadakan musyawarah yang menghasilkan dua poin; (1) membekukan aktivitas dan gerakan Syiah Imamiyah yang ada di Desa Karang Gayam Kec. Omben Kab Sampang, dan (2) sesuai dengan tuntutan masyarakat agar pimpinan Syiah tersebut (Tajul Muluk alias Ali Murtadho) direlokasi keluar Madura.
Setelah itu Tajul Muluk diungsikan ke Malang, tepatnya di Lembah Dieng – Blok N2, Kota Malang, dan tidak boleh lagi menyebarkan ajarannya di Madura. Tajul menulis Surat Pernyataan dengan tulisan tangan dan ditandatangani di atas materai.
Dalam pernyataannya, demi kondusifnya Desa Karang Gayam dan Blu’uran, sementara waktu ia keluar dari kota Sampang. Ia menyatakan juga untuk mencobanya selama setahun terhitung dari tanggal ditandatanganinya Surat Pernyataannya itu (29 Juli 2011, jam 23.56 WIB). Biaya relokasi ini ditanggung oleh Pemkab Sampang dan Pemprov Jatim.
Namun, menurut keterangan masyarakat, Tajul Muluk sering datang ke kediamannya di Karang Gayam untuk menjumpai anak dan istrinya sekaligus melakukan pembinaan kepada pengikut-pengikutnya. Bahkan kadang datang dengan membawa rombongan. Menurut keterangan kepala desa Karang Gayam, Bapak Hamzah, setiap ada acara Asyura di luar kota, seperti di Malang, pengikut-pengikut Syiah di kampungnya dijemput. Terlihat banyak bus beriring-iringan di jalan raya untuk menjemput para pengikutnya.
Pada 1 Agustus 2011, Bupati Sampang mengadakan rapat koordinasi Forum Pimpinan Daerah (FORPIMDA), Ketua MUI dan Kementerian Agama Kabupaten Sampang terkait dengan ketegangan yang terjadi. Rapat koordinasi ini menghasilkan lima poin. Kelima poin itu tentang kronologis permasalahan yang ada di Desa Karang Gayam Kecamatan Omben dan Desa Blu’uran Kecamatan Karang Penang, sejak awal hingga disepakatinya Tajul Muluk harus direlokasi.
Namun disebutkan juga bahwa upaya-upaya yang telah ditempuh, perjanjian demi perjanjian telah dibuat, tapi Tajul Muluk tidak memenuhi kesepakatan direlokasi yang telah difasilitasi oleh Pemerintah. Dengan kata lain, Bupati Sampang menyusun laporan kenyataan sebenarnya yang akan disampaikan kepada semua pihak. Besoknya, 2 Agustus 2011, Bupati Sampang melaporkan permasalahan ini kepada Gubernur Jawa Timur selaku pihak yang juga mendanai relokasi Tajul Muluk ke Malang, dengan nomor surat 220/536/434.203/2011.
Pada Sabtu, 17 Desember 2011, pukul 10.00 WIB hingga 12.00 WIB diadakan pertemuan dua belah pihak, pihak Roies bersama tujuh kawan-kawannya (Muhlis, Munadji, Saniwan, H. Hotib, M. Faruq, Adnan dan H Abdul Wafi) dan pihak Tajul Muluk yang diwakili oleh Iklil al-Milal bin Makmun, Ali Mullah bin Marsuki, Zaini bin Umar, Mukhlisin bin Marsuki, Saiful Ulum bin Yusuf, Martono bin Muderin dan Hudi bin Sadimin.
Kedua belah pihak mengeluarkan Surat Pernyataan yang ditandatangani di atas materai. Isinya: (1) menjaga dan memelihara situasi ketertiban masyarakat di Wilayah Kecamatan Karang Penang dan Kecamatan Omben tetap kondusif; (2) sanggup untuk tidak mengerahkan massa untuk unjuk rasa terkait dengan perselisihan Syiah dan Sunni; (3) tidak akan melakukan anarkis dan memprovokasi warga masyarakat; dan (4) sanggup diproses hukum apabila terbukti secara hukum melanggar pernyataan ini.
Pertemuan ini bertempat di Pendopo Kecamatan Omben yang dihadiri oleh Kapolres Sampang, DPRD Sampang, Ka Bakesbangpol, Camat Omben, Danramil Omben, Kapolsek Omben, Camat Karang Penang, Danramil Robatal, Kapolsek Karang Penang serta ratusan masyarakat Desa Karang Gayam dan Desa Blu’uran.
Jadi, kasus Sampang memang mempunyai akar masalah yang panjang selama bertahun-tahun. Berbagai pihak telah berusaha meredamnya. Toh, akhirnya kasus itu muncul lagi.
Semoga sedikit kisah Tajul dari Sampang ini sedikit banyak menambah kejelasan persoalan dan semoga kasus ini bisa diselesaikan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Penulis adalah Ketua Program Doktor Pendidikan Islam – Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) adalah hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com