OPINI (SALAM -ONLINE.COM): Penghinaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan simbol-simbol kemuliaan ajaran-ajaran Islam pada tahun 1930-an marak terjadi di Nusantara.
Kelompok pengusung paham kebangsaan atau mereka yang biasa disebut sebagai aktivis nasionalis-sekular, yang juga tergabung dalam kelompok Theosofi-Freemason, banyak melakukan hujatan dan propaganda hitam terhadap syariat Islam.
Selain mereka, hujatan terhadap Islam juga dilakukan oleh zending Kristen dan misionaris Katolik, bahkan oleh oknum tokoh etnis Tionghoa. Umumnya, pelecehan tersebut dilakukan secara terbuka lewat media massa.
Majalah Bangoen yang dikelola oleh aktivis Theosofi, Siti Soemandari, dan didanai oleh Vrijmetselarij Vereniging (Organisasi Freemason), melakukan penghinaan lewat artikel-artikelnya. Mereka menghina Rasulullah dan melecehkan syariat poligami pada tahun 1937.
Menyikapi hal itu, aktivis Persatuan Islam (Persis) melalui organisasi Pembela Islam mengeluarkan maklumat kepada umat Islam agar menyikapi secara tegas penghinaan yang dilakukan oleh Majalah Bangoen.
Kemudian mereka membuat selebaran di Bandung yang juga dimuat di media massa, berisi ajakan agar umat Islam jangan tinggal diam terhadap berbagai pelecehan yang dilakukan para penghina Islam itu.
Dalam pamflet yang disebarkan, tertulis:
Oemmat Islam mesti sadar!
Agamamoe dihinakan orang!
Nabimoe ditjatji dan dihina!
Nabi Allah dituduh berzina!
Madjallah “Bangoen” memuat karangan Siti Soemandari bertoeroet-toeroet 4 kali: Menghina Nabi Islam, menoedoeh berzina dengan Mariah. Anggota redactie bernama Soeroto ikut sebagai komplotnja.
Perasaan oemmat Islam sangat diloekainja! Nabi mahkota oemmat Islam diboesoek-boesokkan oleh Siti Soemandari, Soeroto berdiri di belakangja! Anggota-anggota redactie “Bangoen” kebanjakan dari kaoem Parindra!
Oemmat Islam sudah mengadakan protes! Beriboe-riboe kaoem Islam rapat ramai di Djakarta dan di negeri2 lainja. Tapi Siti Soemandari dan Soeroto tidak maoe tjaboet toelisannja itoe. Tidak maoe minta maaf. Tetap bersedia mempertahankan diri!
Tindakan pemerintah tidak ada dan beloem ada. Penerbit Madjallah Bangoen tidak dikenakan denda. Madjallah Bangoen tidak dikenakan beslag. Padahal di mana-mana telah diadakan comitte van actie jang hebat.
S.k Pemandangan mewartakan, bahwa diantara kaoem Islam ta’ sedikit orang jang bersedia tenaga dengan melahirkan soempah: Lebih baik mati dari pada membiarkan Siti Soemandari dan Soeroto menghina Nabi Islam.
Oemmat Islam di Bandoeng bersedia akan mengadakan actie jang besar. Kaoem moeslimin tidak akan tinggal diam! Protestmeeting sedang diroendingkan! Djangan tinggal di roemah nanti! Datanglah ke vergadering jang akan diadakan! Tjatat nanti tanggalnja!
Oemmat Islam Bandoeng dan sekitarnja tentoe bersiap.
Comite Oemmat Islam
(dari matjam-matjam golongan)
Bd. 31.12.37
Penghinaan lewat tulisan di media massa juga dilakukan oleh seorang penulis dari etnis Cina, Oei Bee Tai, dalam Majalah HoKiao, yang menyatakan bahwa peraturan pernikahan yang ada dalam Al-Qur’an pada mulanya hanyalah untuk memuaskan hawa nafsu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Penghinaan yang dilakukan oleh Oei Bee Tai ini tidak hanya menimbulkan kemarahan para aktivis Pembela Islam, bahkan juga organisasi Nahdhatul Ulama dalam Muktamar IX Tahun 1934 menyatakan bahwa mereka yang menghina Al-Qur’an dan Islam harus dihukum berat. Muktamar NU selanjutnya pada 1938 juga bersikap keras terhadap pelecehan yang dilakukan oleh Siti Soemandari.
Secara politis, upaya pelecehan tersebut di antaranya bertujuan untuk menggembosi kekuatan besar umat Islam, yang tercermin dalam Sarekat Islam sebagai pesaing organisasi sekular-kejawen Boedi Oetomo, dan menjegal ide Pan-Islamisme yang pada saat itu ramai dibicarakan.
Tulisan-tulisan yang melecehkan Islam menambah ketegangan antara kelompok Islam versus mereka yang mengusung paham kebangsaan sekular, sehingga menimbulkan polemik yang cukup sengit secara terbuka.
Penghinaan dan pelecehan yang dilakukan memunculkan reaksi keras umat Islam, sehingga muncullah organisasi sayap laskar milik Sarekat Islam yaitu Tentara Kandjeng Nabi Muhammad (TNKT) dan organisasi yang digagas oleh tokoh-tokoh Persatuan Islam (Persis) yaitu Komite Pembela Islam.
Tentara Kandjeng Nabi Muhammad mampu memobilisasi ribuan massa dalam berbagai openbare vergadering (tabligh akbar) di lapangan-lapangan terbuka, sedangkan Komite Pembela Islam bergerak dengan melakukan tantangan-tantangan untuk berdebat secara terbuka kepada mereka yang melakukan pelecehan terhadap Islam.
A. Hassan dan aktivis Persatuan Islam (Persis) kemudian juga mendirikan Majalah Pembela Islam, majalah yang cukup disegani pada saat itu, karena sikap kritisnya terhadap mereka yang berupaya menghina Islam.
Melalui Majalah Pembela Islam yang terbit di Bandung, A.Hassan menulis surat tantangan debat secara terbuka kepada kelompok-kelompok dan indvidu yang menghina Islam, termasuk kepada Ahmadiyah Qadiani.
Khusus kepada Ahmadiyah, perdebatan tersebut berlangsung cukup sengit dan dilakukan selama dua kali di dua kota: Bandung dan Jakarta, serta dihadiri oleh ribuan orang.
Perdebatan ini cukup fenomenal dalam sejarah, karena itulah perdebatan pertama kali dan terbesar antara umat Islam dengan organisasi sempalan Ahmadiyah.
Pembela Islam yang dipimpin oleh A. Hassan juga pernah menantang debat secara terbuka kepada Pastor J.J Tan Berge. Pastor dari Serikat Jesuit ini melakukan penghinaan terhadap Nabi kaum Muslimin melalui tulisan-tulisannyanya pada tahun 1931 lewat Jurnal Studien.
Majalah Pembela Islam melayangkan surat tantangan debat terbuka yang dimuat dalam majalah tersebut, dengan menyatakan bahwa perdebatan bisa dilakukan, “Di tempat mana yang dia sukai, dan dalam bahasa apa yang dia maui, dan kalau dia bersedia datang ke Bandung, ongkos jalan dan ongkos penginapannya akan dibayar oleh Pembela Islam…”
Mohammad Natsir, aktivis Persis yang juga murid dari A. Hassan mengkonter pelecehan yang dilakukan oleh Pastor Tan Berge lewat tulisan yang dimuat dalam Majalah Pembela Islam, No.33 Tahun 1931.
Natsir menyatakan, “Sesungguhnya sudah cukup lama kita kaum Islam mendengarkan dan membiarkan segala macam serangan kepada Islam.Ada yang dengan cara ‘halus’ dan ada yang cara kasar; dari pihak politik sebagai Snouck Hurgronje, sampai pada Kristen Protestan Kraemer dan Ds. Christoffels; dari jahil murakkab Oei Bee Tai sampai kepada Kristen Katholiek Ten Berge, belum lagi murid-muridnya politikus Kristen Protestan dan Katholiek itu yang menamakan diri mereka ‘neutraal agama’.”
Natsir menyebut orang-orang yang pada waktu itu terlibat dalam pelecehan terhadap Islam, seperti Snouck Hurgronje, Pendeta Hendrik Kraemer, Christoffels, Oei Bee Tai, dan para aktivis nasionalis secular sebagai kaum “neutral agama” yang menjadi murid-murid dari para penghina Islam.
Pada masa lalu, aktivis sekular yang duduk sebagai anggota Jong Java ataupun kemudian Boedi Oetomo, mempunyai mentor orang-orang seperti Snouck Hurgronje, Pendeta Kraemer, dan lain-lain.
Ketika maraknya berbagai penghinaan terhadap Islam tersebut, A.Hassan pernah berpesan kepada Datuk Sati Alimin, tokoh dari Minangkabau yang juga menjadi sahabat Mohammad Natsir.
Kepada Datuk Alimin, A. Hassan mengatakan, “Bila tuan dengar Islam direndahkan orang di depan tuan, maka saat itu juga dengan cepat tuan harus berpikir, tuan orang Islam apa tidak? Kalau tuan merasa bukan orang Islam, masa bodo…habis perkara. Tak ada persoalan lagi. Tapi kalau tuan merasa seorang Islam, maka tuan harus berpikir babak kedua: Siapa lagi yang akan bela Islam di saat seperti itu selain tuan? Bulatkan tekad, Islam harus tuan bela!”
Begitulah diantara sekelumit cerita tentang sikap tegas A. Hassan dan aktivis Persatuan Islam (Persis) dalam menyikapi berbagai pelecehan terhadap Islam pada masa lalu di negeri ini.
Penghinaan tersebut dihadapi dengan cara yang tegas melalui debat-debat terbuka dan rapat besar secara massif yang melibatkan kaum Muslimin. (Artawijaya)