SALAM-ONLINE.COM: Hujan deras mengguyur Bandara Soekarno Hatta, Sabtu 3 Nopember 2012 lalu, saat tim ke-3 Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI) hendak bertolak ke Turki.
Mengemban misi yang telah dilakukan dua tim sebelumnya, tim dipimpin Abu Yahya dengan anggota Ustadz Umar Mita sebagai penerjemah, dr. Herry Syahbana dan Eddy Subiyanto selaku tim medis.
Abu Yahya yang saat ini masih bekerja sebagai editor penerbit Ummul Quro Jakarta, adalah salah satu pengurus HASI. Sedangkan Ustadz Umar Mita kesehariannya adalah dai yang aktif berdakwah di Jabodetabek.
Adapun dr. Herry adalah aktivis Hilal Ahmar Jogja yang sedang menempuh pendidikan spesialis radiologi Universitas Gadjah Mada. Sementara Eddy Subiyanto adalah perawat di RS YARSIS Surakarta.
Dalam pesan yang disampaikan menjelang keberangkatan, dr. Sunardi selaku salah satu pendiri HASI menekankan kepada tim agar menjaga niat ikhlas dan kesabaran. “Anda adalah duta yang mewakili umat Islam Indonesia di hadapan rakyat Muslim Suriah yang sedang terzalimi,” pesannya.
Sementara Abu Yahya dalam sambutannya di hadapan tim dan pengurus HASI mohon didoakan agar diberi keikhlasan. “Ikhlas sebelum, saat dan setelah beramal.”
Dalam laporan yang diterima HASI, tim mendarat di Turki, Senin 5 Nopember 2012 dengan selamat. Perjalanan masih berlanjut ke kota Antakya di provinsi Hatay yang berbatasan dengan Suriah, tempat banyak penduduk Suriah mengungsi.
“Alhamdulillah, semua anggota dalam kondisi fit meski masih harus menyesuaikan lidah dan lambung dengan menu Turki,” laporAbu Yahya. “Selama perjalanan, Ustadz Umar Mita selalu memotivasi tim tentang keutamaan membantu saudara Muslim, juga adab-adab safar (melakukan perjalanan jauh).”
Menu makanan Turki memang tidak lazim bagi lidah kebanyakan orang Indonesia. Oleh sebab itu, tim ke-3 HASI ini berinisiatif membawa bekal lauk lokal seperti abon sapi dan telur asin.
Perbekalan menu semakin beragam ketika Ustadz Umar Mita membawa tiga dus rendang. “Ini bekal dari salah seorang murid ngaji saya,” kata Ustadz lulusan LIPIA Jakarta tersebut.
Selain dukungan dari murid pengajiannya, sang Bunda juga memberikan restu penuh. “Mana mungkin seorang ibu menghalang-halangi niat anaknya yang hendak beribadah?” jawab ibu Ustadz Umar saat anaknya berpamitan. (HS)
|
Sinyal, Dentuman Roket dan Halilintar
Dingin masih menggigit, ketika sehabis shalat Subuh saya dan Ustadz Umar meniti tangga menuju lantai tujuh, bagian paling atas dari “apartemen” ini.
Kegelapan lorong dan tangga kami lalui hanya tersingkap oleh screen HP yang kami bawa. Senter? Jelas ada, tapi siapa yang mau ambil risiko pancaran cahayanya menarik perhatian pilot-pilot Bashar Assad, atau tentaranya yang stand-by dengan peluncur roket di pegunungan kanan dan kiri kami?
Tiba di lantai tujuh, kami harus bersabar menunggu sinyal menyapa HP. Bahkan, saking lamanya, kami coba untuk restart. Alhamdulillah, selang sesaat HP kami bersahut-sahutan menandakan notifikasi pesan-pesan yang masuk. Mumpung saat itu di Indonesia jam 8-9 pagi, kami segera konfirmasi banyak hal ke HASI Jakarta. Mumpung pula di awal jam kerja, masih semangat! Kami menyampaikan informasi sepotong demi sepotong. Tentang kondisi dan keadaan kami, tentang pertama kali praktik dengan pasien seorang relawan muda dari Semenanjung Arab, dan musyawarah dengan penanggungjawab klinik terkait program kemanusiaan kami di hari-hari berikutnya, selama tiga pekan kami bersama mereka.
Saya bersama Ustadz Umar duduk berimpitan di anak tangga. Sempit untuk kami berdua, membuat suhu tubuh kami saling menghangat. Baik saya maupun Ustadz Umar, terus berkoordinasi dengan Jakarta via chat. Selain dengan teman HASI di Jakarta, saya tidak mau tahu dengan siapa lagi Ustadz Umar chatting. “Saat chatting, screen HP itu jadi wilayah privasi,” prinsip saya.
Tiba-tiba Ustadz Umar berhenti mengetik. Ia menengadahkan tangan dan khusyuk memuji Allah dan berdoa kepada-Nya. Saya tidak tahu—dan segan menanyainya—apa yang sedang terjadi.
Ternyata, sampai di kamar saya baru tahu. Sang istri telat datang bulan. Dan, kami semua pun mendoakan semoga Allah beri ia keturunan shalih/shalihah.
Ini mengingatkan saya kepada Mas Angga Dimas, Sekjen HASI. Maret 2012 lalu, setelah menunaikan misi Global March to Jerussalem (GMJ) di Amman, Jordania, kami mampir ke Saudi untuk umrah. Setelah kami thawaf, ada kabar gembira: “Istri saya positif hamil, Ustadz,” katanya setengah berteriak girang.
Dan, pagi ini selain berita Ustadz Umar (kemungkinan) diberi keturunan, kami mendapat kabar sang bayi telah lahir. Mabruk!**
-Suasana Lantai Paling Atas dari Rumah Sakit Lapangan Tim HASI, Salma, Suriah
-Suasana Aktivitas Relawan HASI dan Kru Rumah Sakit Lapangan Setelah Shalat Subuh
Sebenarnya saya lebih suka mengirim berita di siang hari, saat sorot lampu tak begitu kentara. Seperti sore ini, ada laporan harian yang tadi pagi Subuh belum sempat kami kirim. Saya coba naik kembali, tanpa lupa berpamitan kepada anggota tim yang lain.
“Dokter Herry, saya naik dulu, mau kirim daily report. Dari kemarin belum sempat kirim,” kata saya.
Sore ini pemandangan cukup terang, meski langit mendung dan beberapa kali suara halilintar menyalak. Seiring dengan irama rentetan senjata otomatis yang terdengar sejak siang tadi.
Selain itu? Tentu saja dentuman bom dan roket dari tentara Assad. Begitu HP dapat sinyal, beberapa pesan kembali masuk. Salah satunya dari teman pengelola media berita Islam online. “Mana kabarnya, bagi-bagi dong?” sapanya dalam chat. He he... hasrat siapa yang tak ingin berbagi kabar, namun kondisi membuat kami tak bisa mengirim berita selancar yang diharapkan.
Selain itu, tumpukan informasi yang datang bertubi-tubi memerlukan waktu untuk memilih dan menyajikannya dalam bentuk laporan tertulis.
Hujan turun, tak lama setelah notifikasi email di HP saya menandakan Message Sent. Sementara dentuman suara bom bertali berkelindan dengan suara guruh dan halilintar.
Bagi saya, sebagai orang sipil, sulit membedakan suara guruh dan pesawat tempur. Padahal, S-O-P di sini, kalau ada keperluan di atas dan terdengar suara pesawat, harus segera turun.
Dan sepertinya saya memang harus turun, ketika suara demi suara itu bertalu-talu. Toh, email sudah terkirim. Saatnya kembali ke “lubang perlindungan?” ***
-2500 Liter Solar Per Bulan Untuk Satu Rumah Sakit Lapangan Di Suriah
Lattakia, sebuah kawasan yang luas meliputi beberapa kabupaten (dalam istilah Indonesia), di situlah Tim Ketiga Relawan HASI bertugas memberikan bantuan kemanusiaan, di Rumah Sakit Lapangan yang didirikan oleh Ikatan Dokter Suriah.
Satu flat empat lantai disulap menjadi Rumah Sakit, namun hanya dua lantai pertama yang bisa digunakan untuk menampung pasien mengingat pasukan Bashar Assad sering kali melontarkan roket dan mortar.
Tak hanya itu, juga serangan udara langsung menggunakan helikopter tempur yang menjatuhkan "Birmil" (tong besar yang diisi 60 kg TNT) ke atas bangunan-bangunan yang dihuni rakyat suriah khususnya Rumah Sakit Lapangan yang memang menjadi incaran mereka.
Oleh karenanya dua lantai bawah merupakan tempat yang paling relatif aman untuk merawat pasien, sementara dua lantai di atas digunakan untuk tempat istirahat bagi para relawan yang bertugas, tentu dengan senantiasa waspada dan sering turun ke lantai bawah jika serangan-serangan dan raungan helikopter mulai ramai terdengar.
Sebagaimana telah dilaporkan tim-tim sebelumnya bahwa terjadi krisis listrik atau lebih tepatnya tidak ada listri selama konflik terjadi, Bashar Assad memutus suplai listrik ke kantong-kantong mayoritas Sunni yang kontra pemerintah.
Walhasil, kota-kota mayoritas Sunni di Suriah bak kota mati, termasuk di dalamnya kota Salma yang masih masuk kawasan Lattakia, tempat relawan HASI bertugas di Rumah Sakit Lapangan di sana.
Generator diesel menjadi satu-satunya sumber listrik untuk menghidupkan aktivitas perawatan di RS Lapangan, mengingat listrik sangat diperlukan guna pemeriksaan dan merawat pasien.
Dalam bincang-bincang kami dengan dr. Rosyid, penanggungjawab RS Lapangan Di sana, beliau menjelaskan butuh sekitar 2500 liter solar untuk menghidupkan listrik selama satu bulan di RS tersebut menggunakan mesin diesel. Itu pun dengan standar minimal. Penggunaan listrik jika dinilai dengan uang butuh 5000 USD (sekitar Rp 48 juta) untuk 2500 liter per bulannya.
Kami tertegun, hanya untuk oprasional listrik saja membutuhkan dana yang luar biasa besar, belum obat-obatan dan peralatan medis lain. Itu pun baru di satu Rumah Sakit, padahal di Suriah terdapat banyak Rumah Sakit-Rumah Sakit Lapangan serupa sebagai usaha menekan angka korban jiwa akibat luka-luka yang harus segera ditangani.
Kami bergumam dalam doa, semoga bantuan dari rakyat Indonesia terus mengalir untuk meringankan beban mereka yang begitu berat. (AY, Tim Ketiga Relawan HASI, Suriah)