EDITORIAL (SALAM-ONLINE): Editorial ini ingin bercerita tentang betapa buruknya sistem demokrasi…
# Seorang aktris wanita, poltisi dari partai yang katanya reformis, ngakunya sih aktivis, anggota DPRD DKI, di TV dan media massa lainnya sering berkoar-koar soal reformasi dan perubahan, HAM dan hak sipil lainnya, pernah bercita-cita memimpin Jakarta, ternyata hobi dugem sampai pagi, digelandang dalam penggerebekan narkoba. Topeng aktivis yang sok feminis ini terkuak…INILAH PRODUK DEMOKRASI!
#Seorang aktris pria, hobinya gonta-ganti cewek, gayanya petakilan dan pecicilan, sedikit alay dan lebay. Kata media, hobinya dugem, menggelar pesta, bahkan—menurut berbagai berita—pesta narkoba di rumahnya. Ia dipinang untuk menjadi wakil rakyat dari partai yang membawa jargon amanat, digadang-gadang menjadi anggota dewan. Bukan, bukan karena ia pro rakyat dan mengerti apa itu tugas wakil rakyat. Apalagi, bukan pula karena kualitasnya! Ini semata-mata karena ia punya banyak uang dan terkenal. Partai butuh popularitas dan uangnya, tak peduli rakyat mana yang merasa diwakilkan olehnya….INILAH PRODUK DEMOKRASI!
#Seseorang, dikenal sebagai aktris juga, aktif dari partai yang katanya berisi orang-orang yang mengedepankan demokrasi, hobi jilat atasan dan atasannya hobi dijilat, ngomong ngaco tak karuan, gayanya preman kampungan, otaknya setumpul kelakuannya, entah rakyat mana yang dengan bodohnya merasa diwakilinya…INILAH PRODUK DEMOKRASI!
#Seorang aktivis partai Islam, parlente penampilannya, anehnya tak percaya diri dengan nilai-nilai Islam. Ia menjadikan ideologi buatan manusia sebagai solusi dalam mengatur urusan perut dan syahwat kekuasaannya. Cita-cita negara Islam adalah kampungan, katanya. Negara tak butuh agama, kicaunya. Dan dengan pedenya dia katakan, Pancasila sudah sesuai dengan sunnah. Astaghfirullah, laa hawla wa laa quwwata illa billah…bagaimana nasib umat Islam, jika politisinya sudah sekular dan liberal. Isi kepalanya sama dengan kelakuannya…. INILAH PRODUK DEMOKRASI!
Dalam sistem demokrasi, suara orang baik-baik sama dengan suara para begundal di jalanan…
Dalam sistem demokrasi, siapapun yang punya uang dan kekuasaan, tak peduli bagaimana kepribadian dan kepeduliannya pada rakyat, dia bisa terpilih jadi wakil rakyat…
Dalam sistem demokrasi, jabatan dikejar dan diburu, bahkan dengan mengeluarkan uang yang sangat banyak. Utang sana-sini, jual harta benda, bahkan kalau perlu merampok dan menipu, demi menjadi anggota dewan, bupati, camat, bahkan lurah…
Demokrasi melahirkan politik transaksional, jual beli jabatan dan kekuasaan. Demokrasi juga melahirkan politik balik modal, sehingga setelah berkuasa ia menjadi monster yang buas, memeras rakyat dan merampok uang negara…
Bahkan setelah berkuasa, hukum berpihak kepadanya. Kekuasaan melindunginya dari perbuatan korup, posisi tinggi yang digenggamnya malah digunakan untuk melindungi keluarga dan kelompoknya dari jerat dan sanksi pidana. Rakyat biasa jika berbuat salah langsung ditindak, jadi tersangka dan dipenjara. Tapi jika keluarga, kerabat dan kelompoknya atau para pembesar dan pesohor yang banyak fulusnya yang tersangkut pidana, hukum jadi impoten, loyo, mandeg, mandul. Hukuman dan penjara tak berlaku. Dibuatlah deal-deal dan rekayasa! Ini fakta yang dipertontonkan di tengah-tengah publik. Tanpa malu. Tanpa merasa bersalah!
“Andai anakku Fatimah mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya…!” sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tatkala ada yang melobi beliau untuk mengampuni seorang wanita bangsawan yang melakukan pencurian. Demikianlah Islam mengajarkan. Begitulah tuntunan Rasulullah.
Saudaraku, Allah Yang Menciptakan hidup, Allah Yang Maha Mengatur kehidupan kita, pantaskah mencari selain Islam sebagai minhajul hayah, pedoman dan sistem hidup?
Camkanlah dengan hati yang jernih, renungkan sedalam-dalamnya firman Allah:
“Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai ad-Din (sistem dan aturan hidup), maka Allah tidak akan terima, dan di akhirat kelak dia akan menjadi orang yang merugi,” (QS Ali Imran: 85). (Abu Azzam)