JAKARTA (SALAM-ONLINE): Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) boleh dibilang melakukan blunder jika tak ingin dikatakan ngawur.
Entah buku sejarah Indonesia versi mana yang dibacanya. Pasalnya, usai bertemu dengan Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, Antonio Guido Filipazzi, Jumat (15/3/2013), Ahok mengatakan bahwa Vatikan adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
Ketika itu Ahok menjawab pertanyaan wartawan, apakah ada pembahasan kerja sama dalam kunjungan Dubes Vatikan itu ke Balaikota?
“Tidak ada. Tadi dikasih kenang-kenangan medali Paus, tapi cetakan lama, belum ada cetakan baru. Dikasih buku sejarah Paus keuskupan dari 1947. Kan Vatikan itu negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia,” jawab Ahok.
Benarkah Vatikan adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia? Tentu saja untuk menjawabnya mudah sekali, cukup membuka literatur sejarah.
Nah, berdasarkan penelusuran literatur sejarah, negara pertama yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia adalah Mesir, bukan Vatikan.
Mesir secara de facto mengakui kemerdekaan RI pada 22 Maret 1946, disusul oleh Liga Arab (Arab Saudi, Qatar, dan lain-lain) pada 18 November 1946. Setelah itu diikuti Suriah pada 3 Juli 1947, Lebanon dan Irak pada 9 Juli 1947.
Pengakuan kemerdekaan RI secara de facto oleh Mesir pada 22 Maret 1946 itu dilakukan dengan mengakhiri kepengurusan WNI dari kedutaan Belanda di Mesir.
Bahkan, pada tanggal 13 hingga 16 Maret 1947, Konsul Jenderal Mesir untuk India (di Mumbay) yang bernama Muhammad Abdul Mun’im bersama Muriel Pearson (nama samarannya adalah Ketut Tantri, seorang perempuan Amerika yang pro kemerdekaan sejak masa revolusi), datang ke Yogyakarta (Ibukota RI saat itu).
Pada 15 Maret 1947 bertepatan dengan HUT Mesir ke 23, keduanya menghadap Presiden Soekarno untuk mewakili pemerintah Mesir sekaligus utusan Liga Arab guna menjelaskan posisi dukungan mereka terhadap kedaulatan RI.
Pengakuan secara de jure (hukum) oleh Mesir ditandatangani pada 10 Juni 1947, ditandai perjanjian Persahabatan RI-Mesir dan sekaligus mendirikan Kedutaan RI pertama di luar negeri.
Sementara alasan Liga Arab menganjurkan kepada semua negara anggotanya supaya mengakui Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat karena didasarkan pada ikatan akidah Islamiyah, ukhuwah Islamiyah dan kekeluargaan.
Bahkan yang menarik, justru dukungan Palestina lebih awal setahun sebelum proklamasi. Palestina diwakili oleh Mufti Besarnya, Syaikh Muhammad Amin Al-Husaini. Pada 6 September 1944, Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan ‘ucapan selamat’ dari Syaikh Amin Al-Husaini ke seluruh dunia Islam untuk dukungannya pada kemerdekaan Indonesia.
Sedangkan Vatikan baru mengakui kemerdekaan Indonesia hampir empat bulan setelah pengakuan de facto Mesir atau satu bulan pasca pengakuan de jure negeri piramid tersebut. Yakni, pada 6 Juli 1947 ditandai dengan pembukaan kedutaan yang disebut “Apostolic Delegate” dan menugaskan Georges-Marie-Joseph – Hubert-Ghislain de Jonghe d’Ardoye, M.E.P sebagai Duta Besar Vatikan pertama di Jakarta untuk masa 1947 hingga 1955.
Menyimak literatur tersebut, kiranya pemahaman sejarah Ahok perlu dikoreksi.
Pimpinan Taruna Muslim Alfian Tanjung menambahkan, fakta sejarah menunjukkan negara-negara Muslim yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia.
“Tidak ada dalam sejarahnya Vatikan pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia,” ujar Alfian seperti dikutip itoday, Sabtu (16/3/2013).
Menurut Alfian, dalam sejarah justru Vatikan bekerjasama dengan Belanda untuk menekan pemerintah Indonesia.
“Vatikan mengambil manfaat adanya penjajahan Belanda dengan menyebarkan agama Katolik di Indonesia. Justru Islam yang menjadi ujung tombak perlawanan terhadap penjajah Belanda,” papar Alfian.
Alfian tidak terkejut dengan pernyataan Ahok itu karena ada keinginan yang kuat dari Wakil Gubernur DKI Jakarta tersebut untuk menyebarkan agama katolik di Jakarta.
“Pernyataan itu sangat politis, agar kebijakan Pemprov DKI termasuk kristenisasi mendapat dukungan dari Vatikan,” demikian terang Alfian.
Tentu umat Islam-lah sebagai pemeran utama meraih kemerdekaan ini. Dari desa hingga kota, dari santri dan kiai hingga kaum terpelajar, intelektual, ulama, bersatupadu bersama umat Islam berkuah darah, bermandikan keringat, merebut kemerdekaan republik ini.
Sementara penjajah, khususnya Belanda, tak rela akan kemerdekaan ini. Mereka, sang penjajah Belanda, logis saja berkolaborasi dengan kelompok yang se-ideologi untuk meneruskan penjajahan, sehingga kembali melancarkan agresinya pada 1947 dan 1949, tapi gagal total.
Kelompok dari dalam yang berkomplot dengan penjajah, tentu merasa nyaman jika negeri ini dijajah dengan yang se-ideologi dan sekeyakinan, karena adanya kekhawatiran–saat itu–Indonesia menjadi negara yang berdasarkan IslamDan, menjelang merdeka, benar, Indonesia dipastikan menjadi negara berdasarkan Islam–atau setidaknya mewajibkan para pemeluknya untuk menjalankan syariat Islam–jika saja tidak dikhianati, ditelikung, dikadalin oleh kelompok nasionalis yang bersekongkol dengan kaum minoritas, sehari setelah proklamasi! (inilah/itoday/salam-online)