-Catatan ARTAWIJAYA-
SALAM-ONLINE: Penetapan Pancasila sebagai asas tunggal juga dianggap menyimpang dari UUD 1945 terutama pasal 29 yang memberikan jaminan untuk menjalankan keyakinan dan ajaran agama masing-masing.
Selain itu, asas tunggal juga dianggap bertujuan untuk meminggirkan peran politik umat Islam yang saat itu sedang bersemangat untuk kembali memperjuangkan aspirasi Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Umat Islam melihat keberadaan asas tunggal sebagai “depolitisasi Islam” yang dilakukan oleh rezim yang sedang mabuk kekuasaan.
Sebelumnya, upaya menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal juga mendapat reaksi keras dari petinggi Angkatan Darat, Jenderal A.H Nasution.
Dalam sebuah buku berjudul “Ikrar Orde Baru 1966: Melaksanakan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekuen”, Nasution menulis:
“Penunggalan asas, yang antara lain menghapus asas Islam bagi kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, terasa menusuk hati bagi seorang Muslim yang yakin sepenuhnya bahwa agama adalah pegangan hidup yang bulat lengkap. Bagi seorang yang bertakwa, seperti yang dikehendaki Sapta Marga, agama merupakan ajaran yang tak boleh dihayati dan diamalkan sepotong-potong, melainkan harussecara bulat dalam segala segi kehidupan tanpa terkecuali. Dalam buku Islam untuk TNI dinyatakan juga bahwa Islam adalah hukum dan ajaran Allah SWT untuk dijadikan pegangan hidup manusia untuk kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat…Maka yakinlah dengan takwa, dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan berasaskan al-Qur’an dan hadits, dengan sendirinya orang merupakan pengamal Pancasila yang baik, bukan sebaliknya.”
Penolakan terhadap asas tunggal juga disuarakan oleh para pimpinan pesantren yang tergabung dalam Badan Kerja Sama Pondok Pesantren se-Jawa Barat. Dalam pertemuan dengan Fraksi ABRI pada 9 Oktober 1984, para ulama yang terdiri dari KH Noer Ali (Ketua Umum BKSPP Jabar yang juga pimpinan Ponpes At-Taqwa, Bekasi), KH. Sholeh Iskandar (Pimpinan Ponpes Daarul Falah, Bogor), KH Tb. Hasan Basri (Wakil Ketua BKSPP Jabar), KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi’ie (Pimpinan Pesantren As-Syafi’iyah, Jakarta), dan RM Oentoro, menyampaikan pandangannya terhadap rencana pemerintah memberlakukan asas tunggal sebagai berikut:
1. Asas tunggal dalam Islam adalah tauhidullah, yang menjadi asas Nabi dan Rasul Allah, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’anul Karim surat al-Anbiya ayat 25
2. Atas dasar itulah, asas tunggal tauhidullah tidak bisa diganti dengan asas apapun, karena mengganti asas agama berarti ingkar dan kufur kepada keyakinan agamanya, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’anul Karim surat al-Kahfi ayat: 110.
3. Asas tunggal bagi lembaga-lembaga keagamaan tidak bisa diganti dengan dasar dan pertimbangan apapun, sesuai dengan jaminan pasal 29 UUD 1945.
Namun, kuatnya desakan umat Islam agar Pancasila tidak menjadi asas tunggal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tetap tak berpengaruh pada usaha pemerintah agar keinginan politik tersebut dapat diwujudkan.
Pemerintah beranggapan tidaklah benar jika menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal, berarti kita menjadi sekular, apalagi ber-Pancasila untuk tujuan sekularisasi. Antara Pancasila dan agama, kata Menteri Penerangan Ali Moertopo dan Menteri Agama Alamsyah Ratuperwiranegara, adalah dua hal yang berbeda.
“Sumber Islam adalah al-Qur’an dan bertujuan untuk membentuk iman dan urusan umat dengan Tuhannya, sedangkan Pancasila adalah moral bangsa, yang dapat menjaga kelangsungan hidup bangsa Indonesia,” ujar Ali Moertopo.
Pernyataan ini kemudian dibantah oleh Majalah Panji Masyarakat dengan menulis, ”Bagaimana dengan dihapusnya asas agama pada partai-partai politik, terutama asas Islam pada Partai Persatuan Pembangunan? Tidakkah itu dapat diartikan sebagai sekularisasi pada kehidupan politik?
Pasca pemberlakuan asas tunggal, umat Islam yang dianggap menolak diawasi, diburu dan ditangkap. Mereka yang ingin cari selamat, terpaksa tunduk dan pasrah pada aturan tersebut. Umat Islam dihadapkan pada dua pilihan sulit: menerima asas tunggal atau dikebiri hak-hak politiknya.