JAKARTA (SALAM-ONLINE): Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafi’i Ma’arif menegaskan adanya ancaman gerakan Islam Syariat di Indonesia yang dapat merusak fondasi bangsa, yaitu Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Menurut Syafi’i Ma’arif, gerakan Islam Syariat berjuang lewat jalur politik dan berupaya mengubah ideologi bangsa Indonesia.
“Munculnya gerakan ini merupakan ekspresi politik identitas berlabel Islam,” kata Syafi’i Ma’arif di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, seperti dikutip itoday, Rabu (17/7/2013).
Syafi’i mengatakan, gerakan Islam Syariat di Indonesia dapat meruntuhkan bangunan kebhinnekaan pada bangsa ini. “Bila tidak dikawal secara kritis dapat meruntuhkan bangunan kebhinnekaan pada bangsa ini,” ujarnya.
Karenanya, kata Syafi’i, kemunculan gerakan Islam Syariat menjadi peringatan bagi perkembangan Islam moderat.
Kenapa seorang Syafi’i Ma’arif yang pernah menjadi Pemimpin Muhammadiyah justru tidak “welcome” dengan syariat? Bukankah saat awal-awal republik ini berdiri para tokoh Muhammadiyah justru terlibat aktif menginginkan tegaknya syariat Islam di bumi Allah bernama Indonesia ini?
Bahkan Pemimpin Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo kala itu termasuk sosok yang paling gigih mempertahankan Piagam Jakarta yang sila pertamanya berisi tujuh kata: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Satu-satunya tokoh Islam yang sulit untuk mengubah pendiriannya, lantaran tetap berpegang pada Piagam Jakarta adalah Ki Bagus Hadikusumo. Sampailah kemudian Piagam Jakarta yang sudah disahkan itu, tercerabut, disebabkan tokoh-tokoh Islam ditelikung dan dikhianati pada 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan.
Penghapusan tujuh kata itu tanpa melibatkan empat tokoh Islam yang menandatangani Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 bersama empat tokoh nasionalis dan satu orang wakil dari Indonesia Timur yang beragama Katolik.
Jadi, jika sekarang ada gerakan yang ingin menghidupkan kembali penegakan syariat Islam yang dulu pernah diperjuangkan, termasuk oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, itu adalah hal yang wajar. Apalagi, Soekarno pernah berjanji, sampai-sampai ia menangis, meneteskan air mata, di hadapan Tengku Daoed Beureueh untuk meyakinkan tokoh Aceh itu, bahwa dia akan memperjuangkan syariat Islam lewat Piagam Jakarta.
Soekarno juga beberapa kali mengobral janji dalam pidato-pidatonya, jika situasi normal akan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Bahkan saat itu Soekarno berjanji, dalam waktu enam bulan, akan mengembalikan dasar negara sesuai dengan kesepakatan awal ditandatanganinya Piagam jakarta.
Soekarno berjanji, itu hanya untuk menenangkan tokoh-tokoh Islam yang merasa telah ditelikung dan dikhianati. Jadi, itu hanya bibirnya saja yang berucap, tetapi sesungguhnya ia tidak pernah serius dengan janji-janji manisnya itu. Para pimpinan dan tokoh-tokoh Islam saat itu berhasil kena pecundang dan tipu daya Soekarno.
Jadi, bisa dibilang, sesungguhnya penelikungan dan pengkhianatan kelompok nasionalis yang dipimpin oleh Soekarno kala itu, dengan secara sepihak menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menetapkan UUD yang kemudian mereka sahkan pada 18 Agustus 1945 tanpa melibatkan wakil-wakil Islam yang sebelumnya bersama kelompok nasionalis sudah menandatangani Piagam Jakarta, adalah tidak sah. Dengan kata lain, republik ini didirikan di atas pengkhianatan, sehingga bisa disebut tidak sah.
Jadi, sah-sah saja, jika ada gerakan yang ingin mengembalikan asas dan dasar bernegara sesuai kesepakatan awal yang sudah ditandatangani pada 22 Juni 1945 yang, bahkan, telah disepakati pula, pada proklamasi 17 Agustus 1945 Piagam Jakarta-lah yang akan dibacakan, bukan teks proklamasi tulisan Soekarno yang di dalamnya ada coretan-coretan itu.
Kenapa ada gerakan perlawanan yang dipimpin Kartosuwirjo? Itu lantaran umat Islam merasa dibohongi, dipecundangi, ditelikung dan dikhianati.
Sebagai sejarawan, Syafi’i Ma”arif, jelas, mestinya tahu sejarah pengkhianatan itu. Lantas, mengapa tokoh Muhammadiyah ini seperti tak suka dengan gerakan memperjuangkan syariat? Gerakan memperjuangkan syariat ingin meluruskan yang bengkok, dimana umat islam telah dikhianati, kemudian mengembalikan Islam untuk ditegakkan oleh pemeluk-pemeluknya. Apakah itu salah? Yang salah adalah yang menelikung, yang berkhianat dan pendusta. Salahkan yang menelikung, yang berkhianat, yang berdusta, yang tak jujur! Bukankah Syafi’i Ma’arif kerap bicara kejujuran? Mengapa untuk yang satu ini tidak?
Merespon hal itu, Ketua Forum Umat Islam (FUI) Ustadz Bernard Abdul Jabbar mengingatkan perihal orang-orang yang fobia terhadap Islam. “Kalau sudah fobia terhadap gerakan Islam Syariat itu tabiat Yahudi,” kata Ustadz Bernard Abdul Jabbar kepada itoday, Kamis (18/7/2013).
Menurut Abdul Jabbar, banyak ulama, cendekiawan Muslim yang sudah terkontaminasi pemikiran liberal dengan menganggap Syariat Islam di Indonesia sebagai ancaman.
“Saya kira bukan hanya Buya Syafi’i yang berpikiran liberal, tetapi banyak ulama maupun cendekiawan Muslim fobia terhadap Syariat Islam,” ungkap Abdul Jabbar.
Kata Abdul Jabbar, pemikiran liberal di kalangan ulama dan cendekiawan Muslim merupakan bagian dari pesanan asing. “Asing tidak menginginkan adanya Syariat Islam di Indonesia. Maka asing melakukan cuci otak melalui para cendekiawan Muslim, termasuk ulama,” tegas Abdul Jabbar.
Selain itu, kata Abdul Jabbar, berdasarkan sila pertama dari Pancasila itu ada pesan untuk menjalankan Syariat Islam. “Kalau mau jujur sila pertama dari Pancasila, Tuhan yang Maha Esa itu hanya ajaran Islam. Artinya berdasarkan konstitusi, tidak ada larangan umat Islam memperjuangkan Syariat Islam di Indonesia,” pungkas Abdul Jabbar. (itoday/salam-online)