–Catatan SALIM SYARIF MD–
SALAM-ONLINE: Gempuran terhadap umat Islam datang silih berganti tak kenal henti. Hantaman demi hantaman terus dilancarkan oleh berbagai pihak yang tidak senang dengan keberadaan dan kemajuan Islam, baik di dalam maupun luar negeri. Sampai yang paling terkini adalah isu tentang keberadaan kelompok IS (Islamic States, sebelumnya disebut ISIS) di Indonesia.
Melihat fenomena hantaman terhadap Islam ini, semakin menguatkan analisis bahwa pihak-pihak yang berkepentingan dengan kehancuran Islam akan terus menggulirkan isu-isu apa saja, asalkan bisa melemahkan dan memecah persatuan Islam. Kesan bahwa Islam itu sumber teror bagi masyarakat kembali ingin dimunculkan.
Jadi teringat beberapa tahun yang lalu ada pernyataan dari seorang petinggi aparat tentang anjuran untuk melaporkan bila ada pria berjanggut, berjubah dan bersurban di lingkungan warga. Ciri-ciri “teroris” yang diangkat dalam pemberitaan media, sekali lagi, menampilkan sosok Islam yang justru menjalankan sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun gambaran yang ingin ditampilkan bahwa ciri seperti ini adalah bahaya baru di masyarakat yang harus diwaspadai. Entah apa maksudnya, seolah aparat ingin masyarakat ikut “menghukum” orang-orang yang menjalankan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian disusul dengan aksi pemberantasan “terorisme” yang akhirnya malah melegalkan penembakan secara sembrono oleh Densus 88 terhadap masyarakat yang tak terbukti terlibat kasus “terorisme”, namun harus meregang nyawa akibat timah panas yang serampangan dihujani pada siapa saja yang menjadi sasaran.
Semua ini terkesan sebagai bentuk aksi “babat rumput” terhadap aktivitas dakwah Islam, yang hingga saat ini belum berhenti dan entah sampai kapan akan berhenti. Media yang juga turut menyebarkan berita, semakin menguatkan citra buruk bagi umat Islam, bahwa Islam yang berciri-ciri seperti tampilan dalam berita adalah Islam yang tidak benar, sering menimbulkan keresahan di masyarakat, penebar teror berbahaya dan beragam stempel negatif lainnya.
Kasus tuduhan terlibat “terorisme” adalah salah satu pelajaran penting bagaimana umat Islam ditekan oleh aparat secara represif. Seseorang dengan mudahnya ditembak karena tuduhan sebagai anggota jaringan “terorisme”, yang tentu saja tak bisa dibantah korban karena sudah terbujur kaku setelah didor aparat. Berapa banyak sudah korban kekejaman Densus 88 sebagai “pembasmi teroris” yang seenaknya ditangkap, disiksa dan ditembak karena mereka telah distempel sebagai “teroris”. Lalu media mainstream gegap gempita mengangkat berita tersebut dan membumbui dengan kabar-kabar yang sengaja ditampilkan untuk menanamkan opini buruk tentang Islam.
Kini setelah isu “terorisme” tidak “hangat” lagi, mulai timbul pertanyaan, akankah isu keterlibatan dalam kelompok IS/ISIS bakal menjadi senjata baru yang dipakai untuk menginjak umat Islam? Bukankah Pemerintah Indonesia telah jelas menolak keberadaan IS/ISIS di negeri ini, hingga aparat keamanan tentu saja punya legalitas untuk memberantas siapa saja yang terlibat di dalamnya? Akankah Densus 88 atau akan ada satuan khusus baru yang dibentuk untuk memberantas IS/ISIS, walaupun sebenarnya IS/ISIS itu tidak ada di Indonesia? Kalau pun ada, hanya sebatas IS/ISIS jadi-jadian.
Bila terbukti benar, dan aparat menangkap orang yang dituduhkan terlibat dalam kelompok IS/ISIS, namun sangat disayangkan bila metode “tuduhan tak terbukti” kembali dijalankan hanya sebagai topeng di balik aksi “babat rumput”. Apalagi bila aksi memberantas kelompok IS/ISIS ini hanya isu rekayasa yang dijalankan untuk mengambil keuntungan penggelontoran rupiah dan dolar. Haruskah umat Islam kembali jadi korban bulan-bulanan dan kearoganan aparat? Umat harus menjalani pemeriksaan khusus hanya karena berpakaian dengan atribut Islami, diperiksa karena rajin mengikuti serangkaian kegiatan kajian Islam, oh ironis sekali. Hak-hak asasi umat Islam bisa dengan mudah diacak-acak karena kepentingan aparat untuk memberantas IS/ISIS.
Lalu kita akan dikagetkan dengan drama berita penangkapan bahkan penembakan seseorang yang diduga terlibat dalam kelompok IS/ISIS. Target sudah dilabeli sebagai “teroris” dan diburu aparat Negara. Status hukumnya (benar atau salah) menjadi tidak penting. Bila sudah terstempel sebagai “teroris”, maka hilanglah hak memberi keterangan tentang dirinya. Bahkan keluarga dan kerabat pun tidak dapat berkutik menghadapi tuduhan “teroris” itu. Katakanlah seorang ustadz atau pengajar Islam, bila sudah dicap sebagai anggota IS/ISIS, maka tak perlu banyak tanya lagi, langsung tangkap bahkan kalau perlu didor di tempat. Menyedihkan.
Jangan sampai hanya karena isu IS/ISIS dan kepentingan memberantasnya lantas masjid-masjid diawasi secara ketat, lalu umat Islam tak lagi bebas mengenakan pakaian Islami, ceramah-ceramah kembali dijaga aparat, kegiatan dakwah Islam mendapat tekanan dan hambatan.
Semoga umat Islam semakin cerdas dan berpikiran terbuka, bahwa segala isu yang sedang terjadi harus benar-benar diwaspadai dan diambil pelajaran, hingga kasus yang pernah menimpa umat Islam di masa lalu tidak kembali terjadi. Perpecahan akan menguntungkan pihak yang tidak suka terhadap Islam. Jangan sampai umat Islam kembali jatuh dalam perangkap skenario yang sama. Waspadalah!