ANTV Mau Ganti Judul ‘King Suleiman’ Sampai Seribu Kali pun, Film Ini Tetap Bermasalah
SALAM-ONLINE: ANTV terkesan seperti sudah merasa persoalan film ‘King Suleiman’ menjadi clear dengan mengganti judul serial tersebut dengan ‘Abad Kejayaan’. ANTV juga sepertinya merasa sudah ‘aman’ dengan mengajak PBNU menonton film tersebut dan ormas Islam itu dikatakan tak masalah.
ANTV juga berkilah bahwa serial itu hanyalah cerita fiksi, bukan sebenarnya. “Ini adalah cerita fiksi,” jelas Coorporate Communications Manager ANTV, Nugroho Agung Prasetyo kepada Republika Online, Kamis (25/12).
Nugroho menjelaskan King Suleiman merupakan tayangan drama yang terinspirasi dari sejarah yang berlatar belakang kerajaan Ottoman. Meski terinspirasi dari sejarah, katanya, drama ini murni kisah fiksi.
Di bagian awal, kata dia, selalu ada keterangan yang menyatakan kalau tayangan ‘King Suleiman’ merupakan fiksi. Selain itu, ujarnya, kisah drama tersebut lebih berfokus pada romantika dan intrik.
Nugroho pun mengimbau agar masyarakat menonton langsung melalui saluran ANTV dan tidak membuat penilaian berdasarkan drama ‘King Suleiman’ yang dimuat di berbagai jejaring sosial maupun laman YouTube.
Karena, ujarnya, drama ‘King Suleiman’ yang ditayangkan di stasiun ANTV sudah melalui sensor yang ketat, sehingga sesuai dengan nilai-nilai yang dianut di Indonesia serta sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Sedangkan tayangan King Suleiman yang terdapat dalam YouTube maupun jejaring sosial, ungkap Nugroho, cenderung vulgar karena tidak melalui sensor yang ketat seperti yang dilakukan oleh ANTV.
“Nontonnya langsung yang di ANTV, jangan bandingkan dengan yang di YouTube,” lanjut Nugroho.
Menurutnya, drama King Suleiman diterima cukup baik di banyak negara. Termasuk beberapa negara Timur Tengah. Meskipun sempat ada penolakan di negeri asal drama ini, Turki.
Atas dasar semua itu, ANTV ngotot untuk tetap mempertahankan serial tersebut, yang sesungguhnya secara visi dan misinya, tidak berorientasi pada nilai-nilai Islam.
Begini, soal digantinya judul dari ‘King Suleiman’ menjadi ‘Abad Kejayaan’. Persoalannya bukan ganti mengganti judul. Jika contentnya bermasalah, seribu kali ganti judul pun tetap jadi problem.
Lalu, ANTV menyebut serial ini cerita fiksi. Kalau memang fiksi, jelas jadi masalah mengaitkannya dengan sesuatu yang punya nilai fakta sejarah. Jika memang fiksi, mengapa serial itu bermuatan Khilafah Utsmani, ‘King Suleiman’, dan simbol-simbol cerita Kekhalifahan Turki di abad kejayaannya dahulu?
Justru karena cerita fiksi yang kemudian terkait dengan Kekhalifahan Turki Utsmani itulah, ini yang jadi masalah. Bagaimana bisa disebut fiksi dengan mengaitkannya dengan sejarah Islam masa lalu?
Bagaimana mungkin seorang Khalifah Islam digambarkan, selain punya istri, juga berselingkuh dengan wanita lain? Bahkan sang “Khalifah” malah membela perempuan yang bukan istrinya saat sang istri protes kepadanya karena memberikan cincin miliknya kepada perempuan lain yang bukan istrinya?
Kekhalifahan Turki Utsmani tak sesuai seperti yang digambarkan dalam serial ini. Kalau mau disebut fiksi, jangan bawa-bawa atau mengaitkan dengan Kekhalifahan Islam masa lalu. Atau apakah fakta sejarah Islam tersebut mau difiksikan? Ini problem.
Bagaimana mungkin Kekhalifahan Islam kaum wanitanya tak berjilbab, tak berhijab. Itu problem.
Lantas, soal di Youtube yang vulgar dan di ANTV yang sudah melalui pengeditan yang ketat, bukan di situ pula akar masalahnya. Mau diedit seketat apa pun, serial tersebut tetap bertolak belakang dengan Islam, lantaran memang tak sesuai dengan fakta yang sebenarnya perihal Kekhalifahan Islam.
Banyak adegan-adegan, termasuk sikap “sang raja” yang tak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Artinya, dengan sendirinya film tersebut tak mencerminkan fakta sesungguhnya.
Tetap mau dikatakan, “Oh, itu kan fiksi?” Ya, jelas tak bisa mem-fiktif-kan sesuatu yang sebenarnya tidak seperti itu. Sesuatu yang fiksi/fiktif itu tidak bisa berangkat atau diambil dari fakta. Jika Kekhalifahan Islam tidak seperti yang digambarkan dalam film itu, duh, terlalu meggampangkan kalau kita jawab itu fiksi, kecuali jika tak ada pengaitan dengan sejarah Kekhalifahan Islam.
Ada perbedaan mendasar cara pandang antara ANTV dengan kalangan yang mengaitkan film tersebut dengan Kekhalifahan Islam. Kaum Muslimin yang mengerti sejarah Kekhalifahan Islam tentu saja dengan kritis memandang bahwa film tersebut adalah sebagai propaganda untuk membuat imej buruk tentang Islam, khususnya sejarah Kekhalifahan Islam.
Namun pihak-pihak yang memang tak begitu peduli dengan pentingnya menjaga nilai-nilai, khususnya Kekhalifahan Islam, tak pernah memiliki rasa sensitif dan ghirah terhadap pemutarbalikan dan propaganda buruk terhadap Islam yang sengaja ditampilkan untuk menahan laju kebangkitan umat ini.
Terakhir, ANTV rupanya merasa persoalan selesai, lantaran serial drama ini selaras dengan nilai-nilai yang dianut di Indonesia serta sesuai pula dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Nah, ini jelas keliru. Patokannya bukan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Ya, kalau nilai-nilai masyarakat itu selaras dengan Islam, bagaimana kalau tidak? Patokannya adalah fakta sejarah, sesuai apa tidak. Sayangnya, fakta itu dibelokkan, lalu untuk “aman”nya meminjam kata “difiksikan”.
Dengan demikian, P3SPS itu pun harus mengacu pada kebenaran dari cerita itu, bukan fakta yang “difiksikan” sehingga menjadi bias, menyimpang, dan mendiskreditkan Islam, Kekhalifahan dan simbol-simbol Islam.
Kalau memang itu cerita fiksi, jangan bawa-bawa atau mengaitkannya dengan sejarah Kekhalifahan Islam, karena akan melahirkan banyak bias yang tak selaras dengan fakta (sejarah Islam) yang sesungguhnya. Cari saja serial (film) yang tak ada hubungannya dengan Islam, daripada membuat citra buruk terhadap Islam.
Intinya, serial film ini memang bermasalah. Patokannya bukan dari banyaknya negara yang menerima, selain Turki. Tapi sejauh mana film ini sesuai dengan fakta dan tak membuat buruk imej Islam. Ya, sekali lagi, kalau ini cerita fiksi, tak usah bawa nama Islam. Cari saja cerita fiksi yang tak ada hubungannya dengan fakta sejarah Islam. (*)