BOGOR (SALAM-ONLINE): Kepala Sub Seksi Penindakan Kantor Imigrasi Kelas II Kota Bogor, Jawa Barat, Dede Sulaiman menyatakan bahwa sejatinya para imigran Syiah ini adalah sesama manusia yang harus dihargai dan dihormati hak-haknya. Namun, mereka tetap harus dibatasi untuk tidak berinteraksi dengan masyarakat setempat karena mereka membawa ideologi dan budaya yang sama sekali berbeda dengan adat istiadat masyarakat di Nusantara.
“Tidak semua (imigran) jahat, tapi tidak semua baik juga. Plus minus lah. Sebagian besar butuh tempat yang aman sih intinya. Tapi yang harus diatasi sebenarnya itu, mereka harus dibatasi berinteraksi dengan masyarakat langsung. Sebab lama-lama bisa menimbulkan gesekan,” ujar Dede saat ditemui dua anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU) di Kantor Imigrasi Kelas II Kota Bogor, di Jalan Ahmad Yani No 65, Selasa (23/12/2014) lalu.
Apalagi, menurut Dede, masyarakat di Indonesia mudah tersulut ketika ada perbedaan-perbedaan pandangan yang sangat prinsipil, seperti perbedaan akidah.
Ia menceritakan bahwa pihak Imigrasi Kota Bogor pernah mengamankan sejumlah imigran gelap dari Bangladesh dan Srilanka yang tinggal di komplek penganut ajaran sesat Ahmadiyah di Parung, Bogor. Pasalnya, ada kekhawatiran bahwa kehadiran imigran asing di wilayah itu akan menambah keruh suasana. Hingga pada akhirnya, pihak imigrasi memindahkan imigran yang sudah berstatus sebagai pencari suaka tersebut ke tempat lain.
Pada 2012, Imigrasi Bogor juga pernah menggelar operasi terhadap para imigran ilegal. Operasi itu berhasil menjaring 170 orang imigran gelap dan langsung dibawa ke Kantor Imigrasi Kota Bogor. “Tapi, karena tidak ada tempat, kita bawa ke Direktorat Jenderal (Imigrasi). Karena di sana juga tidak ada tempat, akhirnya balik lagi ke sini,” tutur Dede.
Ia mengkhawatirkan problematika sosial yang dihadapi para imigran ilegalitu. Sebab, hukum Indonesia tidak memperbolehkan para imigran untuk bekerja di Indonesia. “Kalau lama-lama nggak ada uang dikhawatirkan mereka berbuat jahat. Karena kalau sudah gak bisa makan, gak bisa dapat tempat kan bisa saja berbuat jahat,” tambahnya.
Ia menandaskan bahwa masalah imigran ini bukan masalah pihak imigrasi saja, tapi ini sudah patut dianggap sebagai masalah negara. Menurutnya, tindak lanjut dari permasalahan ini sebenarnya sudah ke tingkat pusat.
Pada Maret – April 2014, pihak Kemenkopolhukam pernah membentuk Satgas Pendataan Penertiban Imigran Ilegal. Tapi lagi-lagi, upaya itu sebenarnya tidak memberikan solusi yang ampuh, sebab hanya sebatas pada pendataan saja.
“Akar permasalahannya hanya satu sebenarnya, yaitu tidak ada tempat untuk menampung mereka. Kabarnya, Kemenkopolhukam mau mengumpulkan kepala-kepala daerah yang ada di Indonesia untuk mencari tempat yang bisa digunakan mereka. Supaya mereka tidak liar dan tidak berbaur,” ujar Dede.
Idealnya, lanjut Dede, para imigran tersebut harus ditempatkan di tempat khusus. Jika mereka dibiarkan tinggal bersama penduduk seperti sekarang ini, ketika mereka punya uang, tidak akan ada masalah yang terjadi. Tapi lambat laun, jika sudah bertahun-tahun mereka terkatung-katung, uang simpanan mereka pasti akan habis. Sementara, uang kiriman dari saudaranya yang sudah berada di negara ketiga atau dari negara asalnya lama-lama pasti akan berkurang.
“Ketika uang mereka sudah habis, ya sudah nggak ada uang buat ngontrak. Maka pasti bisa timbul kerawanan, bisa mencuri atau segala macam. Itu yang harus dipikirkan oleh pemerintah untuk jangka panjang,” tegasnya.
Hingga saat ini, pihak imigrasi Bogor masih menangani para imigran ilegal itu secara kondisional.
“Kalau sekarang mereka aman-aman saja, itu paling yang ditangani per case saja. Kalau mereka mengganggu baru kita ambil. Kalau yang enggak, ya memang tidak ada tempat, sementara seperti itu. Dari pusat pun belum ada solusi kan? Dari negara kita pun belum ada solusi,” pungkas Dede. (Fajar Shadiq & Muhammad Pizaro/JITU)
salam-online