SALAM-ONLINE: Mulai 9 April 2015, sejumlah bioskop di tanah air memutar Film Guru Bangsa Tjokroaminoto besutan sutradara Garin Nugroho. Film ini mengetengahkan perjalanan tokoh Sjarikat Islam—selanjutnya ditulis Sarekat Islam—bernama Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Tjokroaminoto dilahirkan di Desa Bakur pada 16 Agustus 1882. Ia juga merupakan cucu dari Kiai Kasan Besari, seorang ulama yang mendirikan pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo. Kata-kata Tjokroaminoto yang terkenal adalah, “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat”. Ketiga pemikiran ini menjadi landasan juang Tjokroaminoto dalam bergerak.
Pahlawan nasional ini akhirnya tutup usia di usia 52 tahun, tepatnya pada 17 Desember 1934. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Pekuncen, Yogyakarta.
Dalam catatan sejarah, Tjokroaminoto adalah tokoh nasional yang memberikan sumbangsih bagi perjuangan umat Islam dan bangsa Indonesia. Dari tangan dinginnya, Sarekat Islam melambung jadi organisasi yang berkembang pesat.
Berbeda dengan Boedi Oetomo yang membatasi anggotanya dari kalangan priyayi Jawa, Sarekat Islam tampil sebagai organisasi yang anggotanya membentang dari seluruh jagat Nusantara.
Ada Haji Agus Salim dan Abdul Muis dari Minang, AM Sangaji dari Maluku, dan ada H. Samanhoedi dari Solo, serta banyak lagi tokoh lainnya.
Namun sayang, film besutan Garin Nugroho ini dinilai kurang memberikan tempat atas fakta tersebut. Padahal selama ini, nama Sarekat Islam justru harum karena kebhinekaannya menyatukan seluruh elemen di Nusantara.
Pemandangan ini bisa kita tengok saat Sarekat Islam menggelar kongres pertama pada 1913 di Surayabaya. Ketika itu, 16.000 orang dari utusan cabang-cabang Sarekat Islam di Jawa, Sumatera, Bali, dan Sulawesi, hadir mewakili 800.000 orang anggotanya. Apalagi dalam kongres itu, Tjokroaminoto menggunakan bahasa Melayu.
Kongres tersebut menetapkan wilayah Sarekat Islam dibagi tiga bagian. Pertama, wilayah Jawa Barat yakni Jawa Barat, Sumatera dan pulau-pulau daerah Sumatera. Kedua, wilayah Jawa Tengah yang meliputi Jawa Tengah dan Kalimantan. Ketiga, wilayah Jawa Timur yang meliputi Jawa Timur, Sulawesi, Bali, Lombok, Sumbawa dan pulau-pulau lainnya di wilayah Indonesia Timur.
Tak heran, Mr Susanto Tirtoprodjo dalam bukunya Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, menulis: “Nyatalah bahwa perkumpulan Sarekat Islam ini adalah berlainan dengan Budi Utomo yang dalam praktik mendapat anggauta hanya dari kalangan atas saja. Sarekat Islam berhasil mendapat anggauta-anggauta di kalangan rakyat banyak, sehingga dalam waktu singkat meluas menjadi perkumpulan yang banyak anggautanya.”
Dalam perkembangannya, Sarekat Islam di bawah H. Samanhoedi dan Tjokroaminoto berhasil menarik minat masyarakat dengan konsep persatuan dengan semangat Islam untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat. Bahkan dalam kongres keempat di Surabaya pada tahun 1919, Tjokroaminoto menegaskan:
“Memberantas nafsu penjajahan dan kapitalisme Belanda, yang menindas beribu-ribu, sekali lagi beribu-ribu rakyat, sehingga mereka menjadi melarat. Apakah nanti yang akan datang, apakah sosialisme atau nasososiolisme, kita harus menunggu dengan sabar. Sekarang perjuangan ditujukan terhadap penjajahan dan kapitalisme. Untuk itu Sarekat Islam harus mempersatukan rakyat untuk berjuang dengan segala tenaga.”
Satu hal lagi yang membuat penikmat sejarah agak kecewa adalah ketiadaan atau ‘hilang’nya sosok Kartosoewirjo dalam film berdurasi 160 menit itu. Garin lebih banyak mengangkat dinamika hubungan antara Tjokroaminoto dengan Semaoen, Darsono, dan Koesno (Soekarno) ketimbang menyodorkan secuplik kisah Kartosoewirjo. Bahwa Kartoesoewirjo kemudian menjadi sosok kontroversial bagi sebagian kalangan, namun sejarah seharusnya tidak melenyapkan peran penting Kartosowirjo dalam medan juang bersama Tjokroaminoto.
Jika alasannya sosok Kartosoewirjo masih terlalu muda untuk ditampilkan, maka pandangan ini masih bisa diperdebatkan. Sebab Kartosoewirjo adalah sekretaris pribadi Tjokroaminoto sampai ia pindah ke Malangbong sebagai wakil PSII untuk Jawa Barat (1929). Hingga kariernya menanjak sebagai sekretaris umum (1931) dan wakil ketua (1936).
Di tengah ramainya penodaan terhadap ajaran Islam, fakta bahwa Tjokroaminoto sebagai pemimpin Tentara Kandjeng Nabi Muhammad juga sebenarnya menarik untuk diangkat. Satuan tentara umat Islam ini dibentuk usai rapat akbar di Surabaya pada 1918 yang bertugas untuk melawan segala bentuk penistaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hal ini menjadi penting untuk melihat sosok Tjokroaminoto secara lebih luas: bahwa sang guru bangsa—yang humanis—bisa juga tegas ketika membela kehormatan Islam.
Dalam dokumen resminya, tujuan berdirinya Tentara Kandjeng Nabi Muhammad atau Tentara Kandjeng Rosoel, antara lain, “Mencari persatuan lahir batin antara segenap kaum Muslimin, terutama sekali yang tinggal di Hindia Belanda, dan untuk menjaga dan melindungi kehormatan Islam, kehormatan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, serta kehormatan kaum Muslimin”. Lihat: Artawijaya, Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011).
Tentu, film tetaplah film. Akan tetapi, film sejarah memang memiliki dimensi berbeda dengan genre film lainnya. Ia menjadi konstruk pemikiran dari sutradaranya dalam membaca kepingan sejarah. Dari kepingan itu, dia akan menentukan fakta mana yang perlu diangkat, mana yang tidak. Karena durasi film berada dalam waktu terbatas. (Pz/Islampos)