JAKARTA (SALAM-ONLINE): Prostitusi (pelacuran) bukan fenomena penyakit sosial klasik yang tidak dapat diberantas. Tetapi, persoalan belum terakomodirnya definisi dan pengaturan tentang kejahatan tersebut dalam hukum nasional.
“Hukum kita masih mentolerir perbuatan zina sebagaimana dirumuskan Pasal 419 KUHP dan seterusnya,” kata pemerhati hukum dan politik dari The Indonesian Reform, Martimus Amin
Sebagai gambaran riil, papar dia, salah satu pihak terikat hubungan perkawinan melakukan hubungan kelamin (persenggamaan) dengan orang lain diancam sanksi pidana, ini pun masih merupakan delik aduan. Bandingkan perumusan tentang delik zina dalam hukum pidana Islam.
“Zina didefinisikan dengan hubungan kelamin antara seorang pria dan wanita suami istri maupun bukan suami istri, orang dewasa maupun belum dewasa, atas dasar suka sama suka maupun atas dasar paksaan (perkosaan),” paparnya, Senin (11/5).
Singkatnya, jelas dia, setiap persetubuhan/persenggamaan yang dilakukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan di luar hubungan perkawinan yang sah, maka tergolong ke dalam zina. “Karena itu, jika masih menggunakan KUHP produk hukum warisan hukum kolonialisme,” ia memastikan, “sewajarnya masalah prostitusi tidak akan bisa diberantas sampai kapanpun.”
“Akibatnya memakan ongkos yang sangat mahal harus ditanggung oleh bangsa dan negara yakni berkembang pesatnya penyakit menular yang merusak generasi ke generasi dan kehancuran tatanan sosial,” tandasnya.
Sumber: RMOL.CO
salam-online