SALAM-ONLINE: RABU (22/7) kemarin adalah hari kelima bagi Ustadz H. Ali Muchtar (38) dan warga Muslim Karubaga Kabupaten Tolikara bertahan di pengungsian. Aksi serangan kelompok teroris saat hari raya Idul Fitri, Jumat (17/7) lalu, masih menyisakan luka mendalam bagi korban.
Ali Muchtar adalah salah satu imam Masjid Baitul Muttaqin Tolikara, sekaligus salah seorang saksi dalam aksi penyerangan kelompok perusuh saat umat Islam shalat Id dan berlanjut pada pembakaran masjid, sejumlah kios dan rumah.
Berikut percakapan kontributor sejumlah media Islam kepada Ali Muchtar di pengungsian:
Apa kabar Pak Ali?
Alhamdulillah, baik.
Sudah dapat bantuan darimana saja?
Bantuan masih datang dari Baitul Maal Hidayatullah (BMH), berupa makanan, mie instan dan kebutuhan pokok. Itu sudah kami bagi di tiga titik; dua di perumahan dekat Koramil, satunya di Tenda PMI, dimana sebagian pengungsi ada di situ. Ada juga bantuan beras dari bapak bupati. Kemarin ada juga bantuan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Mensos.
Apalagi yang dibutuhkan
Pertama, ya, masih tetap eembilan bahan pokok (sembako, red). Termasuk air minum, gula dan kopi Kedua, juga bantuan kebutuhan ibadah; mukena, sarung, dan lain-lain. Sementara itu dulu. Kemarin datang juga warga daerah menangis. Mereka mengatakan, yang korban nyawa belum ada perhatian. Ya akhirnya kami beri mie instan saja, karena itu yang kami miliki.
Memang ada berapa korban serangan perusuh?
Untuk warga Muslim di Tolikara ini ada sekitar 65 KK, mencapai sekitar 400-an warga. Sedang yang ikut menjadi korban luka-luka ada sekitar 12 orang, meninggal 1 orang.
Apakah ada bantuan lain?
Sebenarnya sudah banyak yang menghubungi. Termasuk dari ormas dan lembaga-lembaga Islam. Tapi saya usulkan, sebaiknya disimpan dahulu, sabar. Sebab, sebenarnya ada juga dana pemerintah untuk umat Islam di APBD. Sebab, apa? Di sini bukan di Jawa atau Sumatera. Kami mengantisipasi kemungkinan di belakang hari jika terjadi apa-apa. Takutnya ada sesuatu. Kita ingin semua tenang dan aman dahulu. Kita berharap memulihkan keadaan, termasuk yang sudah banyak kehilangan harta-benda. Setidaknya, yang hilang harta bendanya bisa pulih dan dapat bekerja kembali sebagaimana biasa, bisa membangun kiosnya kembali dan hidup mandiri.
Sejauh ini, apa perkembangan baru yang terjadi?
Kemarin (Rabu, 22/7), terjadi pertemuan dan konferensi pers dengan pihak tokoh-tokoh gereja. Hadir Pemimpin Umat Gereja Injil di Indonesia (GIDI) yang dipimpin Ketua Klasis Toli, Pendeta Yunus Wenda dan saya mewakili Muslim. Itu tokoh-tokoh penting dan berpengaruh semua di sini. Dalam pertemuan itu sempat saya tanya kembali, apa boleh mendirikan tempat ibadah tidak?
Hasilnya?
Ya, para tokoh gereja ini mengakatan, harus rapat dulu, harus mengadakan pertemuan antar mereka dahulu jika ada pendirian masjid. Sebab, di sini lain dengan Jawa, mendengar nama masjid saja sudah khawatir.
Sebenarnya yang dibakar itu mushalla atau masjid?
Jadi begini, sejarahnya terjadi ketika tahun 1987 (sekitar 28 tahun lalu, red), ketika itu kami mengajukan izin kepada tokoh-tokoh agama di sini untuk membangun tempat ibadah.
Tahun 1988, saya disidang di depan tokoh-tokoh gereja. Mereka mengatakan yang boleh dibangun adalah mushalla, bukan masjid. Tidak tahu mengapa di sini khawatir jika ada pendirian masjid. Sementara kami kaum Muslimin kan harus shalat Jumat. Jadi izin saya kala itu, disebut mushalla, tidak masalah, asal dibolehkan dan bisa melaksanakan shalat Jumat.
Kaum Muslimin tidak meributkan nama, yang penting kita bisa beribadah dan melaksanakan shalat Jumat. Itu yang terpenting. Sebab apa, di sini memang mendirikan rumah ibadah dilarang, kecuali GIDI. Tidak hanya Islam, bahkan semua denominasi Kristen, kecuali GIDI, dilarang.
Dan alhamdulillah, kita semua bersyukur izin beribadah bisa keluar. Asal shalat Jumat bisa dilaksanakan dan kaum Muslimin bisa shalat berjamaah. Terserah jika itu dikatakan mushalla.
Apa saja kegiatan Masjid Baitul Muttaqin sebelum dibakar?
Ya banyak. Yang jelas, shalat jamaah tiap hari, pengajian rutin, peringatan hari besar Islam, peringatan Maulid Nabi, pengajian umum hingga pembinaan anak-anak Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ).
Bulan Ramadhan lalu, kami mendatangkan penceramah dari Jawa. Di sini ada kesepakatan, tiap Ramadhan mendatangkan penceramah secara bergantian dari berbagai daerah di Indonesia. Tahun lalu dari Sulawesi.
Selain itu kegiatan keagamaannya apa lagi?
Alhamdulillah, kita ada majelis ta’lim ibu-ibu yang digabung dengan ibu-ibu Bhayangkari (organisasi persatuan istri anggota Polri). Selain itu ada tahlil di rumah-rumah tiap hari Jumat dan tiap bulan sekali di masjid.
Memang kalau shalat Subuh kebiasaan di sini pakai qunut atau tidak?
Saya biasa pakai. Tapi di sini ukhuwah tinggi. Karena kami mungkin pendatang dan kaum Muslimin datang dari berbagai kalangan. Jadi kami tak pernah mempersoalkan qunut atau tidak. Sebagai imam saya biasa pakai qunut, tetapi banyak juga makmum tidak ikut, ya tidak masalah.
Bapak sendiri latar belakang pendidikannya apa?
Saya tidak memiliki latar belakangan nyantri. Hanya mustami’in biasa. Keluarga saya Nahdhatul Ulama (NU), ibu saya Musyawaroh (asli Lumajang), sedang bapak, Hendri J Karaeng (asli Makassar). Ayah bekerja di Tanjung Perak, tetapi saya banyak dibesarkan di desa Pusrwosono, Kecamatan Sumber Suko, Lumajang. Sejak kecil saya terbiasa diajak orangtua berkunjung ke pesantren. Itu saja yang menjadi bekal saya.
Apa harapan Pak Ali selanjutnya?
Saya harapkan semua segera selesai dan umat Islam bisa melaksanakan hak ibadah serta bekerja kembali. Saya juga menyampaikan terima kasih ada Baitul Maal Hidayatullah, yang sejak hari ketiga paska serangan bisa menemani kami (Muslim Tolikara, red) di sini. Saya harap umat Islam lain juga ikut memikirkan. (Abu Fathun)