SALAM-ONLINE: Sejumlah media, online, cetak maupun elektronik, menyebut yang dibakar saat pelaksanaan shalat Idul Fitri pada Jumat (17/7) di Tolikara, selain beberapa rumah dan sejumlah kios, adalah Mushalla. Padahal yang dibakar itu adalah Masjid. Penyebutan mushalla itu mengaburkan fakta.
Masjid, sebagaimana Masjid Baitul Muttaqin di Tolikara, yang dibakar teroris, meskipun maknanya senada dengan Mushalla–tempat bersujud dan tempat shalat–namun dari segi fungsi, Masjid lebih luas, termasuk digunakan untuk shalat Jumat. Tetapi Mushalla lebih kecil, sama seperti surau atau langgar, dan tidak digunakan untuk shalat Jumat.
Dikutip dari KonsultasiSyariah.com, secara bahasa, masjid [arab: مسجد] diambil dari kata sajada [arab: سجد], yang artinya bersujud. Disebut Masjid, karena dia menjadi tempat untuk bersujud. Kemudian makna ini meluas, sehingga Masjid diartikan sebagai tempat berkumpulnya kaum Muslimin untuk melaksanakan shalat, termasuk shalat Jumat.
Az-Zarkasyi mengatakan,
ولَمّا كان السجود أشرف أفعال الصلاة، لقرب العبد من ربه، اشتق اسم المكان منه فقيل: مسجد، ولم يقولوا: مركع
”Mengingat sujud adalah gerakan yang paling mulia dalam shalat, karena kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya (ketika sujud), maka nama tempat shalat diturunkan dari kata ini, sehingga orang menyebutnya: ’Masjid’, dan mereka tidak menyebutnya: Marka’ (tempat rukuk). (I’lam as-Sajid bi Ahkam Masajid, az-Zarkasyi, hlm. 27, dinukil dari al-Masajid, Dr.Wahf al-Qahthani, hlm. 5).
Akan halnya Mushalla, dikutip dari KonsultasiSyariah.com, di beberapa rumah kaum Muslimin, terkadang terdapat satu ruang khusus untuk shalat. Apakah tempat semacam ini bisa kita sebut Masjid, sehingga memiliki hukum khusus seperti umumnya Masjid?
Di antara batasan Masjid yang telah disebutkan:
“tempat yang disiapkan untuk pelaksanaan shalat jamaah 5 waktu oleh kaum Muslimin”
Kriteria semacam ini tidak ada untuk Mushalla rumah, karena Mushalla rumah milik pribadi, sehingga tidak semua kaum Muslimin bisa shalat jamaah di sana. Pemilik rumah memungkinkan untuk menjualnya atau menggantinya menjadi ruang lain.
Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang tempat yang disediakan di kantor untuk shalat 5 waktu, sementara status bangunan kantor itu adalah sewa. Apakah bisa dihukumi masjid? Jawaban beliau:
هذا ليس له حكم المسجد ، هذا مصلى بدليل أنه مملوك للغير وأن مالكه له أن يبيعه ، فهو مصلى وليس مسجدا فلا تثبت له أحكام المسجد…
”Tempat semacam ini tidak memiliki hukum Masjid, ini tempat shalat biasa, dengan alasan, dimiliki orang lain, dan pemiliknya berhak menjualnya. Ini hanya tempat shalat dan bukan Masjid, sehingga tidak memiliki hukum sebagai Masjid.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat-shalat sunnah di rumahnya. Dan tempat yang dipakai untuk shalat itu tidaklah disebut masjid. Demikian pula ketika ‘Itban bin Malik mengajak beliau untuk shalat di salah satu bagian di rumahnya yang dijadikannya untuk tempat shalat, ini pun tidak disebut dengan masjid. (www.roqyah.com)
Kembali ke Masjid Baitul Muttaqin di Kabupaten Tolikara yang dibakar. Foto puing dan reruntuhan seperti tampak dalam kolom ini, menyisakan papan nama yang sekaligus sebagai petunjuk dan fakta, bahwa yang dibakar teroris Tolikara itu adalah sebuah Masjid bernama Masjid Baitul Muttaqin. Sekali lagi, bukan Mushalla.
Foto ini sekaligus pula untuk membantah dan meluruskan penyebutan Mushalla di sejumlah media yang sebenarnya adalah Masjid Batul Muttaqin yang dibakar teroris di Tolikara bersama sejumlah kios dan rumah pada saat pembubaran paksa shalat Id, Jumat (17/7) lalu.
Foto dengan papan nama Masjid Baitul Muttaqin di atas masih tersisa, tidak terbakar, seakan ingin menunjukkan kepada kita, inilah bukti bahwa tempat ibadah yang dibakar adalah Masjid, bukan Mushalla.
Surat resmi pengurus Masjid Baitul Muttaqin yang diunggah BSMI Jaya Wijaya melalui akun Twitter @Bsmijayawijaya dan dilansir Tarbiyah.net, Senin (20/7) ini semakin mempertegas bahwa yang dibakar habis di Karubaga, Kabupaten Tolikara itu adalah Masjid, bukan Mushalla.
Surat resmi yang ditulis oleh pengurus Masjid Baitul Muttaqin ini berisi permintaan bantuan dan uluran tangan dari Bazda dan seluruh umat Islam di Kabupaten Jayawijaya agar membantu pembangunan masjid dan meringankan beban warga korban aksi terorisme di Tolikara, Papua.
Jadi, sekali lagi, nama tempat ibadah yang dibakar pada saat aksi terorisme di hari Idul Fitri Jumat lalu itu adalah Masjid Baitul Muttaqin, bukan Mushalla Baitul Muttaqin.