SINGKIL (SALAM-ONLINE): Berdasarkan laporan yang diperoleh Jurnalis Islam Bersatu (JITU) dari Forum Umat Islam (FUI) Aceh Singkil, terkait kronologis awal kerusuhan antar umat beragama di Kabupaten Aceh Singkil, ternyata konflik itu sudah berlangsung sejak 36 tahun yang lalu, yaitu mulai tahun 1979.
Dalan laporan tersebut diuraikan secara detail, kronologis kejadian awal konflik di Kabupaten Aceh Singkil, mulai dari tahun 1979 hingga bentrokan yang terjadi pada Selasa, 13 Oktober 2015.
Dimulai pada 11 Juli 1979 lampau di Lipat Kajang, sebuah perjanjian (kesepakatan) yang ditandatangani secara bersama-sama oleh 8 ulama perwakilan umat Islam dan 8 pengurus gereja/perwakilan umat Kristen. Mereka sepakat untuk tidak melaksanakan ataupun membangun kembali (rehab) gereja sebelum mendapat izin dari Pemerintah Daerah Tingkat II.
Pada 13 Oktober 1979 dibuatlah ikrar bersama untuk menjaga kerukunan antar umat beragama dan menaati perjanjian yang telah dibuat pada 11 Juli 1979 silam itu.
Ikrar bersama ini ditandatangani 11 Pemuka Agama Islam dan 11 Pemuka Agama Kristen disaksikan dan ditandatangani oleh Muspida Kabupaten Aceh Selatan (saat itu belum menjadi Aceh Singkil), Kabupaten Dairi-Sumut, Kabupaten Tapteng-Sumut, juga disaksikan oleh unsur Muspika Kecamatan Simpang Kanan.
Beberapa tahun kemudian, 11 Oktober 2001 kembali dibuat surat perjanjian, setelah sebelumnya, salah satu gereja di Kecamatan Suro dibakar. Pembakaran ini diduga karena pihak gereja melanggar aturan yang telah dibuat sebelumnya, pendirian gereja tanpa izin.
Difasilitasi Muspika dan Muspida, lalu dibuatlah ruang dialog dalam sebuah pertemuan. Hasil dialog tersebut adalah sebagai berikut: Gereja di Aceh Singkil hanya boleh satu unit, yaitu Gereja Kuta Kerangan dengan ukuran 12×24 meter dan tidak bertingkat. Undung-undung (rumah ibadah berukuran kecil, red) hanya boleh 4, yaitu: 1 gereja di Desa Keras Kecamatan Suro, 1 gereja di Desa Napagaluh Kecamatan Danau Paris, dan 1 gereja di Desa Suka Marmur Kecamatan Gunung Meriah, dan 1 gereja lagi di Desa Lae Gecih Kecamatan Simpang Kanan.
Dalam perjanjian disebutkan, jika terdapat gereja atau undung-undung selain tersebut di atas, harus dibongkar oleh umat Kristen itu sendiri. Dalam hal ini, umat Kristen harus menepati janji dan menaati hukum, aturan dan perjanjian yang telah disepakati. Kenyataannya, pihak gereja selalu melanggar perjanjian dan tak menaati kesepakatan yang sudah dibuat bersama. Bukannya dibongkar, tapi malah memperbanyak bangunan gereja baru dan merehabnya.
Menurut catatan Forum Umat Islam Aceh Singkil, saat ini sudah 27 unit gereja yang telah berdiri di Aceh Singkil. “Kenapa umat Islam takut bersuara. Apakah kita harus menggadaikan akidah kita demi alasan klasik tidak toleran,” ujar tokoh masyarakat Muslim Aceh Singkil, Hambalisyah Sinaga kepada wartawan usai rapat koordinasi, Sabtu (17/10) yang juga dihadiri perwakilan Jurnalis Islam Bersatu (JITU).
Selanjutnya, pada 30 April 2012 umat Islam di Kabupaten Aceh Singkil turun aksi ke jalan untuk menyampaikan protesnya ke kantor Bupati Kabupaten Singkil terkait maraknya bangunan gereja liar (ilegal) di Kabupaten Aceh Singkil sebanyak 27 unit yang tersebar di 7 Kecamatan.
Pada 1 Mei 2012 Tim Penertiban yang dibentuk oleh Pemda Aceh Singkil turun ke lokasi untuk menyegel 5 unit gereja, namun kenyataannya esok harinya (2 Mei 2012) tim penertiban itu tidak jadi turun ke lokasi, karena ada acara Hardiknas.
Pada 3 Mei 2012, Tim Penertiban kembali turun ke lapangan dan berhasil menyegel 13 gereja. Lima hari kemudian (8 Mei 2012) Tim Penertiban kembali turun ke lapangan dan berhasil menyegel 2 gereja. (Desastian/JITU)