–Catatan TONY SYARQI (Relawan Kemanusiaan untuk Suriah)–
Ya Allah Malna Ghairaka Ya Allah, Ya Allah Ajjil Nashrak Ya Allah
SALAM-ONLINE: Saya memanggilnya Abu Hasan. Lelaki paruh baya yang ditugasi melayani saya dan kawan-kawan dokter dari Indonesia selama hampir sebulan di pinggiran Lattakia, Suriah, 2012 silam. Tugasnya menyiapkan masakan, memastikan midfa (penghangat ruangan) tidak kehabisan minyak, dan menemani kami sepanjang hari.
Saya tidak ingin bercerita tentang bagaimana ketulusannya melayani kami, karena itu akan membuat saya malu—kami datang jauh-jauh dari Indonesia untuk melayani, tapi kok di sini malah dilayani. Cerita itu juga hanya akan membuat “sakit hati” oleh sebab kebaikan ahlu Syam yang tidak pernah bisa saya lunasi. Tapi malam ini tetiba saya teringat slogan (Anda boleh menyebutnya lagu) yang sering didengungkan Abu Hasan di hadapan kami.
Di waktu senggang, kami sering ngobrol dan bercengkrama. Kadang ia mengajari kami bahasa amiyah yang banyak digunakan penduduk. Atau teka-teki bermuatan Islam. Dan yang termasuk sering ia dengungkan adalah lirik di atas. Ya Allah Malna Ghairaka ya Allah…. Ya Allah Ajjil Nashrak ya Allah.
Jujur, saya kesulitan mencari arti yang pas dari lirik Malna Ghairaka. Tapi kalau mau diartikan secara harfiyah, begini: “Ya Allah kami tidak memiliki siapapun lagi selain Engkau ya Allah. Ya Allah segerakanlah pertolongan-Mu ya Allah.” Liriknya memang pendek, tetapi bagi saya memiliki arti yang dalam dan “menyayat” hati.
Bagi saya, lirik tersebut menggambarkan kesendirian rakyat Suriah menghadapi musibah kemanusiaan terbesar—versi UNHCR. Saya sebut sendiri, karena ketika beberapa invidu atau lembaga kemanusiaan yang mencoba menghimpun dana dan bantuan untuk mereka, langsung dicap (terkait kelompok) teroris. Sendiri, karena setiap berbicara soal Suriah dianggap tabu. Karena ISIS-lah, konflik sektarian-lah, konflik politik berkedok agama-lah, … Atau juga karena fenomena rabun jauh: ngapain repot-repot mikir Suriah kalau yang di sini saja juga susah cari makan.
Sebaliknya, monster-monster pencabut nyawa yang mengintai mereka tak pernah kenal kata puas dan kenyang. Makin hari, justru makin rakus dan tamak. Lihat saja bagaimana hari ini Cina dan Korea Utara sudah sepakat ikut dalam invasi militer Rusia di Suriah. Koalisi ini menambah kuat jaringan Syiah sebelumnya, yaitu Iran, Irak dan “Hizbullah” Lebanon.
Persekutuan tersebut semakin perkasa dengan sikap dingin Amerika dan Eropa melihat armada Rusia membombardir wilayah permukiman penduduk (sering disebut sebagai basis pemberontak) Suriah. Dalam diamnya, Barat merasa girang karena tidak sendirian menghadapi jihad rakyat Suriah yang makin hari makin mengkhawatirkan mereka.
Sendiri, tak ada kawan. Sementara lawan makin solid dan bersatu padu siap mencabut nyawa mereka.
Dari pengalaman bergaul dengan rakyat Suriah, sesungguhnya saya tidak mengkhawatirkan kesendirian mereka ini. Justru makin kuat mereka melantangkan Ya Allah Malna Ghairaka, makin kecil ketergantungan mereka kepada manusia. Sebaliknya, mereka makin dekat, dan makin bergantung serta bersandar kepada Raja Diraja, Allah Rabbul ‘Alamin. Kekuatan yang serba maha yang tak bakal terkalahkan. Itulah sumber kekuatan dan jaminan kemenangan!
Yang saya khawatirkan adalah sikap acuh tak acuh, tak peduli dan masa bodoh yang diperagakan kaum Muslimin di luar Suriah. Mereka, yang terjerembab pada debat kusir seputar: isu terorisme, konflik sektarian dan sindrom rabun jauh. Miris, membayangkan apa yang bakal mereka jawab menghadapi tuntutan dan aduan rakyat Suriah kelak di hadapan Allah pada hari kiamat. Dan, mereka itu bisa jadi saya, Anda dan kita.
Adapun Abu Hasan, semenjak pulang ke Indonesia saya tak tahu bagaimana kabarnya. Wallahu a’lam, apakah kini ia masih hidup berjuang mempertahankan hidup yang sendirian, atau telah berkalang tanah bersama-sama saudara sebangsa dan seagamanya, bersama bayi dan balita yang mati dan dikubur dengan jasad yang tak lagi utuh… sembari mempersiapkan tuntutan bagi saya, Anda dan kita semua.