SALAM-ONLINE: Ramadhan dan kewajiban berpuasa di dalamnya selalu mendapat tempat istimewa bagi kaum Muslimin di Indonesia. Aneka tradisi menyambut Ramadhan dan ibadah puasa selalu meriah menambah semangat umat untuk beribadah.
Bahkan ada hal yang sulit diungkapkan, apakah ini fenomena positif atau negative, sebagian kaum Muslimin di Indonesia serius menjalankan ibadah puasa Ramadhan padahal shalat lima waktu terkadang ditinggalkan.
Terlepas dari fenomena itu, Ramadhan memang selalu istimewa. Perintah dalam surat Al Baqarah ayat 183 yang berbunyi,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
begitu kuat sehingga kaum Muslimin benar-benar tergerak untuk menyambutnya.
Jika kita cermati surat Al Baqarah ayat 183, seruan untuk menjalankan puasa menggunakan kosakata “kutiba” yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “diwajibkan”. Kaum Muslimin dengan penuh kesadaran tunduk dan patuh dengan ayat tersebut serta meyakini penuh jika kita melanggar “kutiba” dalam ayat ini akan berdosa.
Ternyata di dalam Al-Qur’an perintah dari Allah Azza Wa Jalla yang menggunakan kosakata “kutiba” bukan hanya terdapat di dalam surat Al Baqarah ayat 183. Ada perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang lain dengan menggunakan kosakata yang sama, salah satunya terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 178 yang berbunyi,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَىٰ بِالْأُنْثَىٰ ۚ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan wanita dengan wanita”
Qishash adalah salah satu hukum dalam Syariat Islam terkait kasus pembunuhan dimana pelakunya harus dihukum mati jika terbukti melakukan pembunuhan.
Menariknya ayat perintah Qishash yang merupakan hukum syariah ini menggunakan kosakata “kutiba” sama halnya dengan perintah puasa Ramadhan. Tentu kita sama-sama tahu bahwa ada yang berbeda terkait sikap kaum Muslimin dalam menyambut “kutiba” dalam surat Al Baqarah ayat 183 dan ayat 178.
Memang ada perbedaan dalam konteks penerapan perintah surat Al Baqarah ayat 183 dan Al Baqarah ayat 178. Perintah berpuasa relatif lebih mudah dalam arti setiap individu bisa melaksanakan dengan syarat dan ketentuan yang berlaku secara fikih.
Adapun perintah melaksanakan qishash tidak bisa serta merta dilaksanakan oleh masing-masing individu. Perintah ini wajib namun harus dilaksanakan oleh institusi yang semakna dengan negara atau sering diistilahkan “taklif dauliy” (beban perintah bagi negara) dalam pembahasan-pembahasan siyasah syar’iyyah.
Nilai yang ingin dikemukakan dalam tulisan ini adalah sisi semangat menyambut dua hal yang diwajibkan Allah Azza Wa Jalla kepada orang-orang yang beriman dengan menggunakan kosakata yang sama yaitu “kutiba”. Di satu sisi kaum Muslimin menyambut “kutiba” dengan semangat dan penuh suka cita, sementara “kutiba” yang lainnya kurang mendapat perhatian bahkan cenderung diabaikan.
Perintah wajibnya melaksanakan qishash jelas terkait erat dan seiring sejalan dengan kesepakatan kaum Muslimin (ijma’) yang disampaikan oleh para Ulama, baik Salaf maupun Khalaf tentang kewajiban penegakan Syariat Islam sebagai landasan hukum untuk mengatur kehidupan kaum Muslimin.
Melalui momentum Ramadhan dan berulangnya pembacaan surat Al Baqarah ayat 183, kaum Muslimin hendaknya sadar dan mengingat kembali bahwa kewajiban serupa dengan menggunakan kosakata yang sama sebagaimana perintah untuk berpuasa juga berlaku bagi penegakan qishash, dimana qishash tidak bisa berlaku tanpa adanya pemberlakuan Syariat Islam.
Belakangan ini jagad informasi sedang dipenuhi oleh peristiwa “Ibu Saenih” di Serang. Peristiwa ini kemudian menggelembung menjadi opini negatif terhadap Perda (Peraturan Daerah) bernuansa syariah. Pemerintah pun seperti ikut menikmati tabuhan genderang opini dengan munculnya statemen dari presiden yang akan menghapus 3.143 Perda yang berlaku. Tentu termasuk di dalamnya sederetan Perda-Perda bernuansa syariah yang dianggap “intoleran”.
Perda bernuansa syariah yang berlaku di berbagai daerah mayoritas Muslim di Indonesia memang masih jauh dikatakan ideal sebagai sebuah penerapan Syariat Islam secara utuh. Namun penerapan Perda bernuansa syariah tersebut patut diapresiasi dari sisi semangat masyarakat daerah berikut kepala daerahnya dalam upaya formalisasi aturan syariah menjadi aturan hukum yang berlaku.
Kini muncul upaya untuk menumpas habis Perda-Perda bernuansa syariah itu. Peristiwa “Ibu Saenih” seakan menjadi mometum emas pihak-pihak anti Syariat Islam untuk mengubur habis asa kaum Muslimin yang ingin menjalankan agamanya dengan baik.
Mari kita kembali ke kosakata “kutiba”. Setiap peristiwa pasti mengandung hikmah. Mungkin sedikit memaksakan, namun boleh jadi salah satu hikmah terjadinya peristiwa di atas bertepatan dengan bulan suci Ramadhan adalah agar kaum Muslimin ingat kembali bahwa ada “kutiba” lain di samping “kutiba” dalam surat Al Baqarah ayat 183 yang terkait erat dengan penegakan Syariat Islam.
Tentu idealnya kita wajib menyikapi perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan adil. Jika kita menyambut “kutiba” dalam Al Baqarah ayat 183 dengan penuh semangat dan suka cita, maka mari kita sambut “kutiba” yang lain dengan semangat dan suka cita yang setara.
Dengan kata lain, kaum Muslimin harus sadar bahwa menegakkan Syariat Islam sebagai landasan hukum itu adalah kewajiban yang tetap dan akan terus melekat. Abai terhadap kewajiban ini jelas berdosa sebagaimana yang telah kita pahami terkait berdosanya seorang Muslim yang sengaja tidak berpuasa di bulan Ramadhan tanpa alasan yang dibenarkan.
Untuk itu, segala upaya pihak-pihak anti Syariat Islam yang ingin memadamkan semangat penegakan Syariat Islam harus menjadi perhatian serius seluruh kaum Muslimin. Terlebih ini terjadi di bulan Ramadhan, sebuah bulan yang menjadi saksi bisu pertarungan dahsyat antara kebenaran dan kebatilan di sisi sumur Badar pada masa silam.
Kaum Muslimin wajib bersepakat, hanya ada satu kata bagi siapapun yang ingin memadamkan semangat penegakan Syariat Islam, “Lawan!”
Usyaqul Hurr