Minta Pelaku Zina & LGBT Dibui, Guru Besar IPB: “Ada Pihak yang Inginkan Indonesia Jadi Liberal”
JAKARTA (SALAM-ONLINE): Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (4/10) kembali menggelar sidang pengujian Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait tiga pasal, yakni pasal 284, 285 dan 292 KUHP dengan agenda mendengarkan keterangan pihak terkait dari DPP Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Selain itu pemohon yang mengajukan digelarnya sidang ke-10 ini adalah Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Ir Euis Sunarti, MS dan 11 rekannya yang meminta MK meluaskan makna pasal asusila dalam KUHP pasal 284, 285 dan 292 tersebut.
Dalam gugatannya itu, Euis minta pelaku “kumpul kebo” dan LGBT bisa masuk delik pidana dan dipenjara. Di sini Euis menilai adanya pertentangan ideologi antara pemohon yang menginginkan kehidupan dengan nilai-nilai agama itu menjadi suatu bagian dalam kehidupan dengan pihak yang menghendaki kehidupan liberal.
“Ada pertentangan ideologi di sini. Nilai-nilai agama adalah menjadi dasar kehidupan di Indonesia, akan tetapi ada pihak yang memang menginginkan (kehidupan) liberal dan memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari yang disebut dengan sekuler,” ungkap Prof Euis Sunarti kepada salam-online usai sidang di Gedung MK Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (4/10/2016).
Ia menyebutkan, apapun alasan yang digunakan ujung-ujungnya adalah penolakan agama sebagai acuan.
“Coba dipikrkan masak lebih mengkhawatirkan penjara penuh, mengkhawatirkan kalau orang disebut sebagai criminal, tetapi tidak mengkhawatirkan ketika seseorang tidak menjalankan syariat agamanya, ini sangat aneh,” cetusnya.
Bagaimana mungkin, kata Prof Euis, ada kelompok yang mengkhawatirkan keluarga akan rapuh, tetapi tidak mengkhawatrikan aspek-aspek norma agama di dalamnya.
“Mengkhawatirkan sesuatu yang baru potensial relatif tapi tidak memperhatikan faktor besar yang menyebabkan hal itu terjadi, ini ada semacam inkonsistensi di dalam cara berpikir karena menolak agama sebagai landasan utama,” ujarnya.
“Jadi ini adalah pertentangan ideologi, ingin memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari,” tambahnya.
Bahkan, terang Prof Euis, jika ruang liberalisme dan sekularisme mengemuka, maka akan terjadi perubahan wajah pada keluarga Indonesia. Wajah yang tidak sesuai dengan Undang-Undang dan akan menjadi sangat bebas jika norma-norma agama menjadi longgar.
“Indonesia mayoritas Muslim, dari mulai bangun tidur saja sudah diatur, bagaimana mungkin mau menolak itu, lantas kehidupan seperti apa yang diinginkan? Ini adalah masalah pertentangan ideologi,” paparnya.
Sidang di MK telah mendengar permohonan dari pihak Prof Euis Sunarti dan 9 ahli yang dihadirkannya. Rencananya, pekan depan, MK akan mendengarkan keterangan dari Komnas Perempuan dan The International Legal Resource Centre. Argumen keduanya bisa jadi mengubah peta putusan MK nantinya, atau MK memiliki keyakinan tersendiri atas kasus tersebut. (EZ/salam-online)