JAKARTA (SALAM-ONLINE): Jurnalis Islam Bersatu (JITU) bekerjasama dengan Pusat Edukasi, Rehabilitasi dan Advokasi (PERISAI) Yayasan Perisai Nusantara Esa menggelar diskusi publik bertema ‘Ranu dan Ancaman Kriminalisasi Jurnalis’ di Hotel Sofyan Inn, Tebet, Jakarta, pada Ahad (21/5).
Sebagai pemateri dalam diskusi ini adalah Pemred Kelompok Media Hidayatullah yang juga anggota Dewan Syuro JITU Mahladi Murni, Pengacara Publik LBH Pers Gading Yonggar, Anggota Komisi I DPR Arwani Thomafi dan Sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah Pedri Kasman. Sementara Advokat Senior Munarman, Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah Mustofa Nahrawardaya dan Direktur INSISTS Ustadz Adnin Armas, juga hadir sebagai nara sumber yang memberi warna diskusi publik ini.
Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Gading Yonggar menyatakan, sepanjang 2016 terdapat 83 kasus kekerasan atau penghalang-halangan kerja, termasuk juga kriminalisasi terhadap jurnalis dengan pola beragam, baik fisik maupun verbal.
Namun, Gading mengatakan, tantangan kerja jurnalis jika ditarik lebih dalam tidak hanya mengenai kekerasan dan kriminalisasi di lapangan. Tapi dari hulunya juga sudah bermasalah jika dilihat dari peraturan yang ternyata didapati di dalamnya celah kekerasan dan kriminalisasi tersebut.
“Beberapa terdapat dalam KUHP yang notabene adalah pasal warisan kolonial,” ujar Gading seperti dilansir Islamic News Agency (INA), Ahad (21/5).
Ia menyebutkan, regulasi itu di antaranya pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik, pasal 311 KUHP tentang fitnah, dan pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa.
Selain itu, sambungnya, juga pasal lex specialis yang secara eksplisit sama namun menyasar media sosial yakni pasal 27 ayat 3 Undang-Undang ITE.
Menurutnya, frasa-frasa dalam pasal-pasal tersebut rancu, multitafsir dan interpretatif, serta tidak mempunyai kepastian hukum.
“Dan tidak hanya bisa menyasar jurnalis atau organisasi masyarakat sipil, tapi juga rakyat biasa yang mengkritik pemerintah dapat dikriminalisasi dengan pasal-pasal ini,” terangnya.
Gading mengungkapkan, ruang-ruang kriminalisasi itu terbuka lebar dan kerap kali dimanfaatkan penguasa untuk membungkam suara publik, termasuk jurnalis.
“Jadi tantangannya juga diregulasi. Kalau dibiarkan akan banyak Ranu yang lain. Konsekuensinya pasal ini harus dicabut,” pungkasnya. (Yahya G Nasrullah/INA)