SALAM-ONLINE: “Apakah kita sudah sampai di Madinah?” kata Ibrahim Wugaje Haruna, kepala suku Kokoda, salah satu suku di Sorong, Papua Barat, kepada penulis saat bis yang mengantarnya dari Jeddah berhenti di depan Kantor Pusat Penerimaan Haji dan Umroh, di Jalan al-Hijrah, Selasa (22/8) lalu.
“Ya,” jawab penulis singkat. “Alhamdulilah… alhamdulillah,” kata Ibrahim berulang kali. “Saya harus ceritakan ini kepada orang-orang di kampung saya.”
Ibrahim lalu menempelkan ujung jarinya ke tanah, menciumnya, dan mengusapkan telapak tangannya ke muka. Mungkin itu bentuk rasa syukurnya, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menakdirkanya tiba di kota yang dulu pernah dibangun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Penulis kemudian mengatakan kepada pria berusia 66 tahun itu, “Tempat yang Bapak injak ini, mungkin dulu pernah dilalui oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.” Ibrahim terdiam.
“Dan bukit itu …,” penulis lalu menunjuk sebuah bukit gersang berbatu di kejauhan, “… mungkin seperti itulah jalan yang dulu dilalui oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam saat hijrah dari Makkah ke Madinah. Ceritakan juga itu kepada orang-orang di kampung Bapak.” Ibrahim mengangguk.
Perjalanan hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari Makkah ke Madinah bukanlah proses yang mudah. Proses itu telah dipersiapkan secara matang oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam selama berminggu-minggu. Sebab, risiko yang akan dihadapi tidaklah kecil.
Peristiwa hijrah ini dimulai dengan pemberangkatan secara diam-diam bersama Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu pada malam hari menuju arah selatan Makkah. Pada saat itu sebagian besar Sahabat sudah lebih dahulu hijrah ke Madinah.
Percobaan pembunuhan pertama berhasil dielakkan setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam meminta sepupunya Ali bin Abu Thalib menggantikan dirinya tidur di ranjang yang biasa ia tiduri.
Setelah berhasil menjauh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu bersembunyi di sebuah gua di Bukit Tsur yang terletak sekitar lima kilometer dari Makkah.
Selama di gua tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah merancang strategi penyelamatan dengan melibatkan putra Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, yakni Abdullah bin Abu Bakar, pengembala kambing bernama Amir bin Fuhairah, dan sang penunjuk jalan bernama Abdullah bin Ariqat.
Setelah itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tiba di kampung Quba dan mendirikan masjid sederhana bernama Masjid Quba serta shalat Jumat di wadi Ranuna. Barulah kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berhasil mencapai Madinah dengan sambutan ramai mayarakat setempat.
Kisah hijrah Rasulullah Shallallahu alaiahi wa Sallam ini tak sekadar harus diceritakan Ibrahim Wugaje Haruna kepada masyarakat suku Kokoda saja, tetapi juga kepada seluruh Muslim, terutama kaum muda. Mengapa? Sebab, Dr ‘Abdul ‘Azhim Mahmud al-Dayb pernah mengatakan, sejarah bukan sekadar pengetahuan masa lalu, melainkan ilmu masa kini dan masa depan. Dengan sejarah, kita bisa mengetahui masa lalu, menafsirkan masa kini, dan merancang masa depan.
Di dalam Al-Qur’an surat Hûd (11) ayat 120, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan semua kisah tentang Rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat (pelajaran), dan peringatan bagi orang yang beriman.”
Dan, bagi Ibrahim, perjalanan haji bukan sekadar perjalanan ibadah, namun perjalanan sejarah yang harus ia ceritakan kepada masyarakat kampungnya.
Hari ini, Kamis (24/8/2017), Ibrahim telah menikmati dan meresapi indahnya shalat di Masjid Nabawi, masjid yang dibangun oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan segala keutamaannya. Hari ini Ibrahim akan bertolak dari Madinah menuju Makkah untuk menunaikan haji.
Labbaik Allahumma labbaik. (Mahladi/Islamic News Agency/INA)