SALAM-ONLINE: Rasa rindu Agustinus Christofel Kainama kepada Ka’bah pagi ini, Jumat (25/8/2017) terobati. Usai shalat subuh, mantan pendeta Gereja Zebaot, Bogor, Jawa Barat, ini memasuki Masjidil Haram.
Sebetulnya, Kainama sudah pernah melihat Ka’bah sebelumnya. Tahun 2012, pria kelahiran Ambon ini mendapat kesempatan mengunjungi Baitullah.
Tapi selepas itu, Kainama mengaku selalu rindu dengan Baitullah. “Saya selalu ingin ke sini dan berdoa agar bisa ke sini lagi,” jelas pria yang pernah kuliah di jurusan Liturgi Teologi, Leiden ini. Seluruh biaya kuliah ketika itu ditanggung oleh Gereja Zebaot.
Allah Subhanahu wa Ta’ala ternyata mengabulkan doanya. Kedutaan Besar Arab Saudi mengundangnya untuk berhaji tahun ini. “Ini benar-benar seperti mimpi. Allah ternyata memberi kesempatan kepada saya untuk melihat Ka’bah lagi,” tutur Kainama.
Kainama memeluk Islam pada tahun 2011. Namun, beberapa tahun sebelum itu, ia sudah gundah gulana dengan agamanya yang lama.
Setelah memeluk Islam, Kainama malah gencar mengajak teman-temannya untuk memeluk Islam. Ia bahkan tak sungkan berdakwah di gereja. “Yang paling ‘mengedankan’ adalah ketika kita mensyahadatkan orang di bawah Salib,” ungkap Kainama.
Buat mualaf seperti dirinya, Ka’bah adalah sesuatu yang menakjubkan. “Ketika seorang mualaf baru pertama kali melihat Ka’bah, dia bisa menangis,” cerita Kainama saat berbincang dengan penulis menjelang memasuki gerbang Masjidil Haram.
Mengapa? Sebab, melihat Ka’bah di depan mata terasa seperti Allah Subhanahu wa Ta’ala memperlihatkan seluruh kesalahan kita di masa lalu, lalu kita menyesalinya. Bahkan, seorang mualaf seperti dirinya bisa pingsan ketika shalat di dekat Ka’bah.
Rindu untuk kembali ke Baitullah sebetulnya hal yang wajar. Bukankah semua Nabi pernah mendatangi Ka’bah dengan bersusah payah, meskipun wujud Ka’bah ketika itu hanya berupa dataran yang lebih tinggi dibanding sekitarnya?
Bukti sejarah tentang ini telah ditulis oleh Ibnu Katsir. Katanya, tak ada seorang Nabi pun kecuali telah berhaji ke Baitullah (Ka’bah).
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa dalam perjalanan hajinya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sampai ke sebuah lembah (wadi) dan bertanya kepada Abu Bakar, “Wahai, Abu Bakar, wadi apakah ini?”
Abu Bakar menjawab, “Ini adalah Wadi Asfan.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjelaskan, “Sesungguhnya Nuh, Hud dan Ibrahim telah melewati wadi ini dengan mengendarai onta-onta merah mereka yang dikendalikan dengan tali kekang. Sarung-sarung mereka berasal dari Aba’ dan selendang-selendang mereka dari Nimar. Mereka berhaji ke al Baitul-Atiq (Ka’bah).”
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala memperbolehkan kaum Muslimin untuk berpayah-payah mengunjungi Ka’bah, selain Masjid Nabawi dan Masjid Al-Aqsha.
Ka’bah, menurut sejumlah literatur Islam, dibangun pertama kali oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘Alaihissalam. Keduanya memulai proses pembangunan dengan menambah tinggi Ka’bah menjadi 9 hasta dan lebarnya menjadi 32 hasta dari rukun Aswad sampai rukun Syami.
Beliau melebarkan antara rukun Syami dengan rukun Gharbi (Barat) menjadi 22 hasta, dan antara rukun Gharbi dengan rukun Yamani menjadi 31 hasta, serta antara rukun Yamani dengan rukun Aswad menjadi 20 hasta.
Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam membuat dua pintu untuk Ka’bah dengan ukuran yang sama. Satu dari arah timur dekat Hajar Aswad, dan yang lainnya dari arah barat dekat rukun Yamani.
Beliau juga membuat lubang di dalam Ka’bah. Yaitu di sebelah kanan orang yang masuk dari pintu timur yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan harta Ka’bah. Kala itu, Ka’bah belum diberi atap.
Setelah pembangunan oleh Ibrahim, Ka’bah sempat beberapa kali dibangun atau direnovasi. Yang pertama, pembangunan oleh bangsa Amaliq dan Jurhum. Pembangunan ini dilakukan lantaran munculnya bencana banjir yang dahsyat dan telah menghancurkan tembok Ka’bah.
Setelah itu dilanjutkan pembangunan-pembangunan berikutnya, termasuk kala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berusia 35 tahun. Kita kerap mendengar kisah fenomenal di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika itu dipilih oleh masyarakat Quraisy untuk memutuskan siapa di antara mereka yang paling berhak meletakkan hajar aswad di tempatnya.
Ada beberapa lagi pembangunan Ka’bah setelah peristiwa itu. Yang terakhir dilakukan oleh Sultan Murad IV karena beberapa bagian Ka’bah roboh oleh hujan yang amat deras. Sejarah mencatat peristiwa ini terjadi pada Rabu 19 Sya’ban 1039 Hijriah. Setelah itu, hingga Kainama menginjakkan kakinya ke Masjidil Haram, tak ada lagi perombakan terhadap kiblat umat Islam ini.
Sungguh beruntung Kainama. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberangkatkannya dengan mudah. Allah memang Maha Berkehendak dan Maha Bijaksana.
Labbaik Allahumma labbaik. (Mahladi/INA)