Menangi Perkara, Pelajar Muslim Prancis tidak Lagi Disajikan Hidangan Babi
PARIS (SALAM-ONLINE): Di negara berpenduduk non-Muslim, rupanya tidak terlalu mudah untuk mendapatkan hidangan makanan halal. Di Burgundi, tepatnya di Chalon-sur-Saône, Prancis, otoritas di wilayah yang berideologi ekstrem kanan itu berhasil memenangkan perkara di pengadilan atas tuntutan menyetop suplai makanan halal ke kantin-kantin sekolah.
Upaya kelompok ini berhasil disetujui oleh pengadilan kota setempat pada 2015. Namun, kondisi yang menyulitkan ini tidak lagi dirasakan anak-anak pelajar Muslim dan Yahudi yang tidak mengonsumsi makanan haram seperti babi.
Pada Senin (28/8/2017) lalu, Kelompok advokat Muslim yang bernama The Ligue de Défense Judiciaire des Musulmans (LDJM – the Muslim Legal Defence League) berhasil memenangkan perkara di pengadilan dan membuat hakim membatalkan keputusan pengadilan di tahun 2015 terkait suplai hidangan makanan haram ke sekolah-sekolah.
Dilansir dari the Guardian, hakim di persidangan mengatakan bahwa dia tidak menjadikan pertimbangan agama dalam memutuskan perkara. Namun, ketika kantin-kantin sekolah hanya menghidangkan makanan non-halal bagi anak-anak, ia lalu memikirkan bagaimana nasib anak-anak Muslim yang harus istirahat pada jam makan siang tanpa menyantap makan siang. Menurutnya, hal ini jelas bertentangan dengan semangat Konvensi Internasional untuk Hak Anak-Anak.
“Sangat tidak mungkin bagi Kota Chalon-sur-Saône untuk mengubah pelayanan publik dalam waktu yang singkat. Hal ini bisa berdampak pada keberlanjutan pelayanan kami,” ungkap Wali Kota Chalon-sur-Saône, Gilles Paltret, pada Senin (28/8).
Wali kota yang berasal dari partai berhaluan sayap kanan Les Républicains itu mengatakan bahwa keputusannya menghentikan suplai alternatif makanan non-babi merupakan bagian dari penjiwaan prinsip “laïcité” (sekularisme) yang dipegang teguh bangsa Prancis.
Selain itu, ia juga berpendapat, dengan membuat anak-anak Muslim dan non-Muslim duduk dan makan bersama hidangan yang disajikan—sekalipun yang dihidangkan adalah babi—merupakan bentuk perlawanan terhadap diskriminasi dan pengotak-kotakan.
Kelompok LDJM secara tegas menolak pendapat ekstrem tersebut. Sebaliknya, kelompok ini mengatakan bahwa pendapat yang demikian justru merupakan bentuk diskriminatif, ilegal, dan bentuk pelanggaran terhadap kebebasan menetukan pilihan dan beragama. “Prinsip sekular di nomor duakan setelah hak anak-anak,” kata pengacara LDJM Nicolas Gardères.
Sependapat dengan LDJM, Komite Penasihat Nasional Prancis juga menyatakan bahwa interpretasi prinsip sekularisme dan kesetaraan yang dimaknai oleh Wali Kota Chalon-sur-Saône sangat error dan keliru.
Chalon-sur-Saône merupakan satu dari sekian komunitas di Prancis yang membangkitkan kembali wacana identitas atau politik identitas yang dibalut dengan semangat nasionalisme. Keberadaan imigran-imigran Muslim yang tinggal di Prancis kian sering mendapat tekanan dari kelompok-kelompok ekstrem kanan yang menginginkan Eropa ‘bersih’ dari non-kaukasian (kulit putih). (al-Fath/Salam Online)
Sumber: The Guardian