Austria Pertegas Larangan Pemakaian Burqa bagi Muslimah
WINA (SALAM-ONLINE): Austria menambah daftar panjang negara yang melarang pemakaian burqa (jenis pakaian penutup kepala hingga ke seluruh wajah, tubuh dan kaki, kecuali mata ditutup oleh kasa atau penutup lainnya agar bisa melihat) di tempat umum.
Para aktivis pada Ahad (1/10) mengecam sebuah undang-undang yang melarang penggunaan burqa di Austria. Mereka menyebut undang-undang itu sebagai “kontraproduktif” dan “serangan terhadap kebebasan beragama”.
Undang-Undang yang dikenal sebagai “larangan burqa” itu mulai berlaku sebelum pemilihan umum pada 15 Oktober mendatang.
Dari sekitar 9 juta orang Austria, hanya 100 sampai 150 wanita Muslim atau 0,002 persen yang mengenakan jilbab dari total 700 ribu Muslim di negara ini.
Dengan adanya undang-undang tersebut, maka mereka yang mengenakannya dapat dikenakan denda hingga 180 dolar AS.
Pemerintah Austria mengklaim, undang-undang tersebut melindungi nilai-nilai Austria dan konsep masyarakat bebas.
Para Aktivis dan pakar Islam telah mengecam keberadaan undang-undang ini. Menurut mereka, undang-undang itu bersifat kontraproduktif dan memicu Islamofobia.
Carla Amina Baghajati, seorang aktivis hak asasi manusia dan juru bicara Otoritas Islam Austria, mengatakan peraturan tersebut mengancam konsep masyarakat terbuka.
“Mereka (pemerintah) percaya bahwa mereka membebaskan wanita-wanita ini. Mereka mengaku melakukan tindakan ini untuk mendapatkan identitas Austria, tapi ini munafik, karena gagasan ‘masyarakat terbuka’ adalah bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk bertindak dan berpakaian sesuka hati selama tidak ada orang lain yang dirugikan,” ujar Baghajati kepada Aljazeera, Ahad (1/10).
“Para wanita ini sedang dikriminalisasi, tapi Anda tidak bisa merendahkan mereka,” imbuh Baghajati.
Austria juga melarang penyebaran Al-Qur’an. Pemerintah mewajibkan semua pengungsi dan imigran agar berpartisipasi dalam program “integrasi” untuk belajar bahasa Jerman dan “etika Austria”.
Baghajati mengaitkan larangan cadar wajah tersebut sebagai upaya para politisi untuk “mengirim pesan kepada publik bahwa mereka memegang kendali kekuasaan”. (EZ/Salam-Online)
Sumber: Aljazeera