SALAM-ONLINE: “Selama aku masih hidup, tak akan kubiarkan siapapun merampas tanah kaum Muslimin!” ucapan tegas itu dilontarkan oleh Sultan Abdul Hamid II, pemimpin Khilafah Turki Utsmani (Ottoman), kepada pentolan/gembong pendiri Zionisme, Theodore Hertzl, saat berusaha membujuknya agar memberikan sebagian wilayah Palestina yang saat itu berada di bawah kekuasaan Ottoman untuk bangsa Yahudi.
“Al-Quds harus tetap milik kami!” ujar Sultan Abdul Hamid II, sambil mengusir pergi Hertzl dan seorang rabbi Yahudi yang menemani tokoh Zionis itu. Padahal ketika itu, Hertzl datang tak sekadar melakukan lobi-lobi, tetapi juga membawa uang lira emas yang cukup banyak agar Sultan Ottoman itu bersedia memberikan sebagian wilayah Palestina untuk bangsa Yahudi.
Selain itu, Hertzl juga menjanjikan pinjaman dua juta lira untuk Kekhalifahan Ottoman. Namun Sultan Abdul Hamid II dengan tegas menolak permukiman bagi bangsa Yahudi di Palestina dan menolak tawaran uang tersebut.
“Yahudi internasional membentuk organisasi dan berupaya–melalui jaringan-jaringan rahasia Freemasonry—untuk mendapatkan apa yang dinamakan Al-Ardh Al-Mau’udah (the Promised Land) dan mereka menghadap kepadaku setelah beberapa lama seraya meminta kepadaku sebuah tanah atau wilayah untuk menempatkan bangsa Yahudi di Palestina dengan imbalan sejumlah harta. Tentu aku menolaknya!” tulis Sultan Abdul Hamid II dalam memoarnya.
Penolakan itu tentu saja membuat berang Hertzl. Dalam catatan hariannya, Theodore Hertzl menyatakan, “Tidak ada harapan bagi bangsa Yahudi di Palestina dan mereka tidak akan mampu memasuki tanah yang dijanjikan selama Sultan Abdul Hamid masih berkuasa,” sebagaimana dikutip sejarawan Dr Muhammad Harb, penyusun ulang “Memoar Sultan Abdul Hamid II”, dari buku Tarikh Buyunzah Yahudiyalr va Turklr (Jilid I, hlm. 464-465, 1976 M).
Bagi Sultan Abdul Hamid II, memberikan sejengkal tanah saja bagi bangsa Yahudi, sama artinya memberikan kematian bagi kaum Muslimin di Palestina. Jika bangsa Yahudi diberikan tanah di Palestina, maka mereka akan menyusun kekuatan agar bisa merampas seluruh wilayah itu.
Sultan mengingatkan karakter tamak dari bangsa Yahudi yang harus diwaspadai. “Kaum Zionis ini tidak hanya ingin bercocok tanam saja di Palestina, melainkan menghendaki pembentukan pemerintahan merdeka dan memilih perwakilan politik bagi mereka,” terangnya.
Sultan menambahkan, “Sesungguhnya aku sangat memahami persepsi dan keyakinan mereka yang tamak ini. Mereka mengira bahwa aku akan menerima usaha-usaha mereka itu dengan mudah. Hertzl menghendaki sebuah tempat bagi saudara-saudaranya seagama. Akan tetapi kecerdikannya tidak akan mampu meluluhkanku.”
Mengenai Baitul Maqdis (Al-Quds/Yerusalem), dengan tegas Sultan Abdul Hamid menyatakan, “Mengapa kami harus meninggalkan Al-Quds? Al-Quds adalah wilayah kami sampai kapan pun dan di mana pun. Dan Al-Quds akan selalu bersama kami, sebab Al-Quds merupakan kota-kota suci kami dan terletak di wilayah negara Islam. Al-Quds senantiasa menjadi milik kami.”
Sejak saat itu, maka pada 28 Juni dan 7 Juli 1890, Sultan Abdul Hamid II mengeluarkan dua instruksi penting yang menjadi pukulan telak bagi upaya Zionis untuk mendapatkan tanah di Palestina. Dua instruksi itu adalah: pertama, tidak boleh menerima keberadaan orang-orang Zionis Yahudi di wilayah kekuasaan Ottoman. Kedua, mengembalikan bangsa Yahudi ke tempat asal mereka datang. Untuk menghindari penyusupan orang-orang Yahudi, sultan juga memerintahkan agar rakyat Palestina tidak menjual tanah-tanah mereka kepada para pendatang.
Sejarawan Turki, Jamal Quthai menulis, “Setelah konferensi Zionis III di Zuricht tahun 1896 M, kaum Yahudi mengajukan permohonan kepada Sultan Abdul Hamid agar berkenan menjual persawahan milik Ottoman yang tertelak di pesisir Palestina atau menyewakannya selama 99 tahun dengan imbalan emas sebesar tiga kali lipat keuangan pemerintah Ottoman.” Namun tentu saja, permintaan itu kembali ditolak.
Sejak penolakan itu, Hertzl dan para aktivis Zionis merancang sebuah agenda untuk menghancurkan kekuasaan Sultan Abdul Hamid II. Mereka mulai menyebarkan propaganda yang mendiskreditkan Sultan dan membentuk suatu gerakan revolusioner yang disebut dengan Al-Utsmaniyyun Al-Judad (Generasi Baru Turki) atau Young Turk Movement (Gerakan Turki Muda). Orang-orang Yahudi Dunamah/Donameh yang aktif di jaringan Freemasonry disusupkan ke dalam pemerintahan. Kelompok Freemasonry yang terus berusaha menjegal kepemimpinan Sultan juga tergabung dalam organisasi “Al-ittihad wa At-Taraqqi/ Ittihad ve Terakki” (Organisasi Persatuan dan Kemajuan).
Bisa dikatakan, sejak saat itu Sultan Abdul Hamid II terus mendapat rongrongan dari kelompok Yahudi, anggota-anggota Freemason, dan kaum sekular-liberal yang ingin meruntuhkan kekuasaannya dan menjadikan Turki sebagai negara sekular yang berada di bawah kendali Yahudi. Sultan Abdul Hamid menulis dalam memoarnya, “Musuh-musuhku yang menamakan kelompoknya ‘Turki Muda’ secara keseluruhan adalah anggota jaringan Freemasonry Inggris (Freemason Grand Lodge of England),” ujarnya.
Perjuangan Sultan Abdul Hamid II dalam mempertahankan tanah Palestina dari bangsa Yahudi adalah teladan bagi kaum Muslimin untuk tidak tunduk dan menyerah pada penjajahan Zionis “Israel”. “Al-Quds adalah milik kami!” Seruan itu harus terus disuarakan sampai Zionis hengkang dari Al-Quds dan seluruh wilayah Palestina. (AW/Salam-Online)
Sumber Tulisan:
DR Muhammad Harb, Mudzakiraat as-Sultan Abdul Hamid ats-Tsani (Memoar Sultan Abdul Hamid II), Damaskus: Daar al-Qalam, 2012