SALAM-ONLINE: Januari 2018, LSI Denny JA membuat prediksi bahwa PDIP dan Golkar akan bersaing memperebutkan posisi nomor satu di tahun 2019. Dalam survei LSI Denny, Januari ini PDIP memperoleh 22,2 % dan Golkar 15,5 %.
Menurutnya, saat ini hanya 2 partai yang elektabilitasnya di atas perolehan suaranya di pileg 2014, yaitu PDIP dan Golkar. Di pilpres 2014, PDIP memperoleh 18,9 % dan Golkar sebesar 14,75 %.
Benarkah Golkar menjadi partai pemenang di pileg 2019? Atau menjadi pemenang kedua? Atau pemenang ketiga? Atau sebaliknya, akankah Golkar di tahun 2019 mendapatkan mimpi buruk, terlempar dari papan atas ? Waktu yang akan menjawabnya.
Pilkada 2018 bisa jadi barometer untuk pemilu dan pilpres 2019. Suara pemilih terbanyak ada di Jawa Barat dengan perkiraan (33 juta), Jawa Timur (31 juta), Jawa Tengah (27 juta), dan Sumut (10 juta). Total sekitar 101 juta pemilih.
Jika pilpres 2019 diikuti sekitar 190 juta, maka suara di 4 provinsi ini setara dengan 53 %. Dari 4 provinsi terbesar ini, hanya ada satu kader Golkar, yaitu di Jawa Barat, itu pun sebagai cawagub. Artinya, posisi Golkar sebenarnya lemah karena tidak mampu menempatkan kadernya di pilkada strategis di atas.
Selain itu, kasus Setya Novanto (Setnov) sedang bergulir di pengadilan sebagai terdakwa. Setya Novanto belum menjadi terpidana. Kemungkinan dengan Setnov nanti menjadi terpidana, maka akan ada kader Golkar lainnya yang akan mengikuti jejak Setnov karena logikanya Setnov tidaklah melakukan sendirian dugaan korupsi E-KTP itu. Kemungkinan akan ada kader Golkar terseret lagi dalam kasus korupsi E-KTP itu, juga akan menggerus suara Golkar.
KPK juga sudah memanggil Anggota Komisi I DPR, Fayakhun Andriadi terkait proyek pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla). Jika nantinya ditemukan dugaan korupsi, maka lagi-lagi akan merugikan dan menggerus Partai Golkar.
KPK juga sudah menetapkan Rita Widyasari, Bupati Kutai Kartanegara sekaligus Ketua DPD Partai Golkar Kalimantan Timur, sebagai tersangka. Banyaknya kader Golkar yang menjadi tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi tentu akan menurunkan elektabilitas Golkar. Pergantian Ketum Golkar dari Setya Novanto kepada Airlangga tidak serta merta menjadikan Golkar dipandang publik sebagai partai bersih.
Pertengahan Desember 2017, Akbar Tanjung, Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar bahkan menyatakan suara Golkar dengan kasus Setya Novanto semakin turun. Baginya, jika tidak ada Munaslub untuk mengganti Setya Novanto, maka suara Golkar bisa jadi bahkan di bawah 4 % yang menjadi ambang batas untuk kursi di Parlemen.
Sikap Presiden Joko Widodo yang memberikan keistimewaan kepada kedua menterinya yang berasal dari Golkar untuk merangkap jabatan, telah menjadi catatan, ternyata tidak ada kesesuaian antara kata dan tindakan. Secara etis, melanggar Slogan Revolusi Mental, Slogan “basi” karena sudah lama tidak didengungkan lagi.
Rakyat sekarang semakin cerdas. Perkembangan IT telah mengubah kondisi sosial masyarakat. Pemimpin-pemimpin gadungan akan terkena karma. Banyak yang jatuh karena masyarakat tidak lagi diam untuk dibodohi oleh para politikus yang memikirkan dirinya, keluarga dan kelompoknya.
Dalam kondisi seperti ini, tidak mudah lagi bagi semua partai politik untuk mendapat simpati rakyat. Apalagi rakyat di pulau Jawa mudah mengakses berbagai berita.
Banyaknya kasus korupsi yang menimpa kader-kader Golkar, akan menggerus suara partai ini. Bisa saja Golkar di 2019 akan terlempar untuk pertama kalinya dari partai atas. Boleh jadi posisi Golkar di 2019, bahkan di bawah posisi ketiga. Kerja keras tentu diperlukan untuk mengubah keadaan.
@armas_adnin
–Penulis adalah Sekjen ‘Gerakan Politik Bersih’