Liberalisasi Tafsir Pancasila: Antara Buya Hamka dan Generasi Milenial
SALAM-ONLINE: Rezim di Indonesia boleh berganti, namun dasar negara masih tetap Pancasila. Hanya saja tafsir tentang Pancasila sesuai dengan rezim saat berkuasa. Di era Orde Lama, Pancasila ditafsirkan berdasarkan pemerintahan Soekarno. Di masa Soeharto, Pancasila berlaku sesuai tafsir Orde Baru, begitu pula zamannya reformasi saat ini.
Di era reformasi pun, tafsir Pancasila tergantung siapa yang memerintah. Maka, tuduhan-tuduhan terhadap umat Islam yang ingin secara bebas dan leluasa mengamalkan ajarannya begitu mudah dituduh sebagai anti Pancasila.
Sementara di sisi lain orang yang dianggap tak bertuhan malah bisa disebut Pancasilais. Belum lagi gelar Pancasilais juga disematkan kepada kelompok Lesbian Gay Bisekual Transgender (LGBT) yang jelas-jelas merusak moral bangsa dan nilai Pancasila itu sendiri.
Yang mengkhawatirkan, keadaan seperti ini, yakni liberalisasi atas tafsir Pancasila juga mulai menghinggapi kalangan anak muda dan pelajar atau yang populer saat ini disebut sebagai generasi milenial. Sebut misalnya kasus Cania Citta. Seorang mahasiswi Universitas Indonesia yang percaya diri berbicara dalam forum diskusi di salah satu Stasiun Televisi Nasional bahwa Pancasila tidak mewajibkan seseorang untuk bertuhan.
Sebagai renungan, bagus jika kita melihat bagaimana para pendahulu kita menafsirkan Pancasila. Khususnya para intelektual Muslim yang memang mempunyai hubungan erat dengan para tokoh Islam yang terlibat dalam perumusan Pancasila dan pembentukan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah Prof Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) atau populer dengan nama Buya Hamka. Pemikiran dan kisah seorang negarawan yang juga ulama karismatik milik bangsa Indonesia ini perlu kita jadikan pelajaran.
Pada 27 Juli 1975, untuk pertama kalinya Buya Hamka dilantik sebagai Ketua Umum Mejelis Ulama Indonesia (MUI), di Gedung Sasono Langen Budoyo, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta. Pada kesempatan itu, Buya Hamka berpidato di hadapan pemerintah dan hadirin. Bukan hanya mengenai MUI yang dia ibaratkan sebagai kue bika, yakni MUI sebagai perantara antara umat dan pemerintah, tapi juga soal Pancasila, khususnya representasi sila pertama.
Sebelum membahas isi sila pertama, Buya Hamka memulai pembicaraan pokok pendirian bangsa Indonesia. Buya menganggap bahwa teks Pembukaan UUD 1945 “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya” sebagai pokok dan dasar pertama dari berdirinya bangsa Indonesia.
Berdirinya bangsa Indonesia, kata Hamka, adalah hasil dari pertemuan antara keinginan luhur rakyat Indonesia dan berkat Rahmat Allah. Dengan kata lain, pertemuan antara takdir dan ikhtiar (Usaha) manusia.
“Kalau tidak ada dua gabungan yang kedua itu, kemerdekaan tidak akan tercapai dan negara ini tidak akan berdiri,” ujar Buya Hamka dalam pidatonya.
Lalu, pengarang buku ‘Tenggelamnya Kapal Vanderwijck’ ini menegaskan bahwa sila pertama Pancasila tidak bisa disamakan atau disejajarkan nilai kedudukannya dengan keempat sila lainnya.
Buya Hamka pun mengungkapkanya dengan tegas tanpa keraguan sebagaimana layaknya sikap seorang Ulama yang lurus.
Dia menegaskan, sebagai seorang Muslim tidak bisa dipaksa untuk berpikir lain bahwa sila pertama, yakni Ketuhanan yang Maha Esa, adalah sila yang pokok.
Bahkan Buya menegaskan sekiranya pemerintah atau Dewan Pertahanan Nasional saat itu menganjurkan paham kelima sila sama nilai dan kedudukannya, maka sikap pemerintah sebagai penguasa akan diaminkan orang hanya karena takut menentang kekuasaan. Namun, kebanyakan orang Indonesia, terkhusus umat Islam akan tetap dalam keyakinan hidupnya mengenai sila pertama, yaitu Tauhid.
Meski sebelumnya pada sekitar tahun 1950-an Buya Hamka pernah menulis sebuah tajuk berjudul “Urat Tunggang Pancasila”, yang ditulisnya demi menanggapi isi pidato Bung Karno tentang Pancasila saat peringatan Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Pada Senin, 8 Mei 1951 di Istana Negara. Namun dalam kesempatan pelantikan dirinya sebagai Ketua Umum MUI, Buya Hamka kembali membacakan dan mengaskan isi tulisannya tersebut.
Orang yang bertuhan, tegas Buya Hamka, sudah pasti akan berkemanusiaan yang adil dan beradab, bermusyawarah dengan khidmat kebijaksanaan dan berperilaku adil dalam sosial. Sementara Persatuan Indonesia sudah barang tentu tidak akan dikhianati oleh seorang yang beriman.
“Persatuan itu adalah janji kita sebagai suatu bangsa yang sadar. Janji itu adalah, ‘Charter 22 Juni 1945’,” tegas Buya Hamka. (MNM/Salam-Online)