Sosiolog: Selain Sesat Teologis, Ahmadiyah Sesat Sosiologis
JAKARTA (SALAM-ONLINE): Pengujian UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU P3A) di Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh kelompok Ahmadiyah masih berlanjut.
Pada Kamis (8/2/18) adalah sidang terakhir bagi Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) sebagai pihak terkait untuk menghadirkan saksi ahli.
Pada kesempatan terakhirnya itu, DDII menghadirkan sosiolog yang juga Rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, Prof Dr Musni Umar, SH, M.Si untuk memberikan kesaksian terkait UU P3A dan penggugatnya Ahmadiyah secara sosiologis.
Menurut Musni Umar, tudingan UU P3A yang menjadi dasar lahirnya Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (SKB 3 Menteri) yang menetapkan Ahmadiyah aliran sesat, sebagai biang diskriminasi terhadap Ahmadiyah atau komunitas sempalan agama lain, adalah salah kaprah.
Menurut guru besar sosiologi ini, justru dengan tidak adanya UU yang mengatur perlindungan agama, akan memancing keributan yang lebih besar di tengah masyarakat.
Adapun penolakan terhadap Ahmadiyah di kalangan masyarakat sendiri, kata dia, bukan disebabkan adanya fatwa sesat terhadap Ahmadiyah saja, namun dalam praktik kehidupan, terang Musni, Ahmadiyah pun telah sesat sosilogis. Mengapa?
Ahmadiyah sendiri disinyalir cenderung eksklusif dan memisahkan diri dari komunitas lain. Ahmadiyah, dalam mengamalkan ajaran yang mereka anggap sebagai Islam justru tidak berbaur dengan komunitas Islam lainnya.
Sebut misalnya, pembangunan masjid yang diperuntukkan bagi komunitas Ahmadiyah saja, terang Musni, itu cenderung akan menimbulkan disharmonis dengan masyarakat sekitar, karena dalam Islam masjid adalah untuk umat, bukan golongan.
Apalagi, kata Musni, Ahmadiyah juga tidak menginginkan shalat di belakang imam di luar komunitasnya karena menganggap tidak sah jika hal itu dilakukan.
“Hubungan sosial seperti itu mudah menimbulkan kecurigaan dan prasangka buruk, serta mudah menimbulkan kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah yang hidup tertutup,” ungkap Musni.
Oleh karenanya, solusi yang tepat untuk Ahmadiyah sendiri, kata Musni, adalah kembali kepada ajaran Islam yang benar, yakni ajaran yang mayoritas dianut oleh umat Islam Indonesia.
Adapun jika tidak, ujarnya, Ahamadiyah harus menyatakan secara terbuka bahwa mereka bukanlah bagian dari Islam dan mendirikan agama sendiri. Hal itu, ungkap Musni, tentu akan menghadirkan toleransi di tengah masyarakat.
“Pasti bisa. Dengan Kristen (agama lain) saja bisa, umat Islam itu toleran,” terang Musni. (MNM/Salam-Online)