Tetapkan Pemimpin Hamas Ismail Haniya sebagai ‘Teroris’, AS Langgar Hukum Internasional
SALAM-ONLINE: Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada Rabu (31/1/18), Hamas mengatakan bahwa keputusan Departemen Luar Negeri AS yang memasukkan pemimpin politik seniornya, Ismail Haniya, dalam “daftar teror” global merupakan “pelanggaran hukum internasional”. Padahal hukum internasional telah memberi hak kepada orang-orang Palestina untuk membela diri terhadap penjajahan (Zionis “Israel”) dan (hak) memilih pemimpin mereka.
“Keputusan ini menunjukkan bias Amerika yang mendukung pendudukan (baca: penjajahan) ‘Israel’ dan memberikan perlindungan resmi untuk kejahatan penjajah itu terhadap rakyat Palestina,” ujar pernyataan tersebut sebagaimana dilansir Aljazeera, Kamis (1/2).
Hamas, gerakan politik Palestina yang menguasai Jalur Gaza, mengatakan bahwa pihaknya menyerukan kepada pemerintah AS untuk “membatalkan” keputusan ini dan menghentikan “kebijakan permusuhan”nya.
“Ini tidak akan menghalangi kami untuk melaksanakan tugas terhadap rakyat kami dan membela mereka serta membebaskan tanah dan tempat suci kami,” tegas Hamas.
Tanggapan dari Hamas muncul tak lama setelah AS “memvonis” Haniya sebagai “teroris global” pada Rabu (31/1).
Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan siaran pers yang mengatakan bahwa Haniya “memiliki hubungan dekat dengan sayap militer Hamas” (Brigade Izzuddin Al-Qassam) dan “telah menjadi pendukung perjuangan bersenjata, termasuk melawan warga sipil”.
Penetapan Haniya dalam “daftar teror” global, berarti akan ada larangan berpergian terhadapnya. Termasuk aset keuangan berbasis AS yang dia miliki akan dibekukan. Juga akan ada larangan pada setiap warga negara AS atau perusahaan untuk berbisnis dengannya.
Departemen Luar Negeri AS menuduh Hamas terlibat dalam serangan yang mengakibatkan pembunuhan terhadap 17 orang Amerika sejak pembentukan kelompok tersebut pada 1987.
Jurnalis Aljazeera Rosiland Jordan, melaporkan dari Washington, DC bahwa memasukkan Haniya dalam “daftar teroris”, akan membawa kemungkinan AS menyeretnya ke pengadilan.
“Ini mungkin membuat lebih mudah bagi Departemen Kehakiman AS untuk mencoba membawanya ke pengadilan karena dugaan perannya dalam kematian 17 orang Amerika,” ujar Deplus AS.
Dalam siaran persnya, Departemen Luar Negeri AS juga menetapkan tiga kelompok bersenjata lainnya sebagai “kelompok teroris”, yaitu Harakat al-Sabireen—sebuah kelompok bersenjata yang berbasis di Gaza, serta dua kelompok yang berbasis di Mesir—Liwaa al-Thawra dan Harakat Sawa’d.
‘Ikon Perlawanan’
Haniya (55 tahun), terpilih menjadi pemimpin politik Hamas pada Mei 2017, menggantikan Khaled Meshaal. Lahir di sebuah kamp pengungsi di Gaza, Haniya yang sebelumnya menjadi Perdana Menteri yang berbasis di Gaza, merupakan sosok sederhana yang sangat dekat dengan rakyatnya.
Dari Jalur Gaza, pejabat senior Hamas, Ghazi Hamad, mengatakan bahwa keputusan AS tersebut merupakan bagian dari kampanye yang lebih luas untuk melawan orang-orang Palestina sejak Presiden Donald Trump mulai menjabat pada Januari 2017—satu tahun yang lalu.
“Jelas bahwa permusuhan dari pemerintah AS terhadap orang-orang Palestina belum pernah terjadi sebelumnya—dengan dukungan tanpa syarat dari “Israel” dan keputusannya seputar Yerusalem, yang diikuti pemotongan dana bantuannya untuk pengungsi Palestina melalui badan pengungsi PBB (UNRWA),” kata Hamad.
“Saya pikir Donald Trump sakit mental sejak dia menjadi presiden … pemerintah AS telah berusaha menerapkan kebijakan sesatnya di Timur Tengah.”
Hamad menegaskan bahwa Haniya adalah “ikon perlawanan”. “Itu adalah sesuatu yang dia dan kami semua banggakan,” ujarnya.
Trump telah membuat serangkaian keputusan dalam beberapa bulan terakhir. Ia telah meningkatkan ketegangan di wilayah ini.
Dalam sebuah pertarungan besar dengan “kebijakan” AS selama puluhan tahun, Trump mengumumkan pada 6 Desember 2017 bahwa AS secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota “Israel”, dan akan mulai memproses pemindahan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Langkah tersebut memicu demonstrasi di wilayah Palestina yang diduduki dan di kota-kota besar di seluruh dunia.
Dan, pada 17 Januari 2018, pemerintah AS memutuskan untuk memotong lebih dari separuh dana yang direncanakannya ke badan bantuan PBB, UNRWA, untuk pengungsi Palestina—sebuah institusi PBB yang telah menjadi jalur penyelamat bagi lebih dari lima juta pengungsi Palestina yang terdaftar selama lebih dari 70 tahun dan menyebar di Yordan, Lebanon, Suriah, Jalur Gaza dan Tepi Barat. (S)
Sumber: Aljazeera