Ketika Perang Masuk Tahun Keempat, Wanita Yaman Bicara Kematian
SANA’A (SALAM-ONLINE): Suha Salem mencoba menyembunyikan rasa sakit dan kesedihannya, tetapi penderitaan dan ketabahan dalam menghadapi perang tiga tahun Yaman yang memasuki tahun keempat ini terukir di wajahnya.
Ketika matanya beralih dari kiri ke kanan, konflik telah menghancurkan hampir setiap kawasan di ibu kota padat penduduk itu yang, katanya, dengan kematian dan kehancuran menguntit setiap keluarga.
“Saudara laki-laki saya terluka oleh ranjau darat yang berakibat kaki kanan dan tangan kirinya diamputasi,” ungkap Suha Salem kepada Aljazeera.
“Kerabat lain ditembak dan sekarang lumpuh,” ujarnya seperti dikutip Aljazeera, Senin (26/3/2018).
Kehilangan warga sipil yang tidak pandang bulu begitu meluas, kata Salem. Ia khawatir akan masa depan psikologis anak-anaknya.
“Saya tahu banyak orang-orang yang kerabatnya terbunuh oleh tembakan dan serangan udara,” ujar Salem.
“Kesehatan psikologis dan fisik mereka mengerikan. Bagaimana Anda menghibur seseorang yang kehilangan begitu banyak orang yang dicintai?” lanjutnya.
Sejak 2014, Yaman telah dilanda oleh konflik multi-sisi yang melibatkan aktor lokal, regional dan internasional.
Milisi Syiah Houthi dukungan Iran, melakukan pemberontakan, menyusul tersingkirnya Presiden Ali Abdullah Saleh dan gejolak “Musim Semi Arab” yang menyapu sebagian besar Timur Tengah.
Memanfaatkan kemarahan meluas terhadap keputusan Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi untuk menunda pemilu yang ditunggu-tunggu dan negosiasi terhenti terkait konstitusi baru, Houthis bergerak dari benteng mereka di provinsi Saada menuju ibu kota Sana’a, mengepung istana presiden dan berhasil menempatkan Hadi di bawah tahanan rumah.
Merespons hal itu, koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi melakukan intervensi sejak 26 Maret 2015 atas permintaan Hadi setelah Houthis terus menyapu wilayah selatan dan mengancam akan menaklukkan benteng terakhir pemerintahan yang pindah dari Sana’a ke Aden.
Sementara koalisi dan milisi lokal berhasil menangkis pengambilalihan Houthi terhadap Aden, namun serangan udara yang dilakukan koalisi Arab sampai sekarang belum berhasil mengusir pemberontak Houthi dari ibu kota Sana’a.
Sebaliknya, lebih dari 16.000 serangan udara yang dilancarkan koalisi pimpinan Saudi itu mengakibatkan korban sipil massal. Acara pernikahan, fasilitas medis dan pemakaman tidak terhindar dari pengeboman.
“Setiap kali kami pikir situasinya akan membaik, tapi semakin buruk dan buruk,” kata Salem mendesah sedih.
“Perang itu tidak membawa kebaikan bagi kami … Koalisi Arab tidak berbuat untuk Yaman. Ini melayani kepentingannya sendiri,” ujarnya.
“Jika pihak yang bertikai peduli tentang Yaman, mereka harus membuat konsesi dan membebaskan kami dari penderitaan ini,” terangnya.
Permalukan Perempuan
Ketika konflik memasuki tahun keempatnya pada Senin (26/3), warga dan aktivis mengatakan kepada Aljazeera, pertempuran telah mengekstraksi korban serius pada penduduk sipil. Kaum perempuan mengalami derita secara tidak proporsional.
“Perang telah mempermalukan perempuan,” Afaf Al-Abara, seorang wartawan Yaman yang fokus pada masalah kemanusiaan, mengatakan kepada Aljazeera.
“Kaum perempuan telah mengungsi. Mereka merasa trauma dan bahkan terbunuh. Mereka telah terpapar dalam bentuk kekejaman tertinggi dan disasar oleh kedua belah pihak (yang bertikai),” ujarnya.
Menurut Kementerian Hak Asasi Manusia Yaman, setidaknya 1.665 wanita telah terbunuh atau terluka sejak awal perang. Sementara kedua belah pihak menolak akses mereka ke bantuan medis dan kemanusiaan.
Lebih dari 18 juta warga sipil saat ini dikepung oleh pertempuran. Sedikitnya 10 juta—jumlah yang lebih besar dari seluruh penduduk Swedia—membutuhkan bantuan kemanusiaan segera.
Mendapatkan informasi akurat tentang jumlah korban tewas itu sulit, tetapi Save The Children memperkirakan setidaknya 50.000 anak meninggal pada 2017. Rata-rata 130 anak setiap hari meregang nyawa.
Menurut warga, harga makanan dan bahan bakar meroket. Inflasi melonjak meninggalkan orang termiskin yang paling rentan.
Direktur Regional UNICEF untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, Geert Cappelaere, mengatakan banyak orang tua yang putus asa dipaksa untuk “menikahkan anak-anak perempuan mereka karena uang tunai”.
“Hampir 80 persen orang Yaman hidup dalam kemiskinan. Para orang tua harus membuat pilihan sulit dengan merelakan anak-anak mereka untuk mengemis, bekerja atau menikahkan anak-anak perempuan mereka pada usia dini,” ungkap Cappelaere saat berbicara pada peringatan tiga tahun perang Yaman.
Dalam sebuah survei di enam provinsi, UNICEF menemukan 75 persen responden perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Dan, separuh dari semua gadis yang disurvei menikah sebelum usia 15 tahun.
Harapan hancur
Beberapa warga Yaman mengatakan bahwa mereka optimis situasi akan membaik. Mereka menyematkan harapan pada Martin Griffiths yang baru-baru ini ditunjuk sebagai utusan khusus PBB untuk Yaman.
Banyak pula yang mengatakan bahwa ada sedikit prospek untuk perdamaian.
“Kami masih menunggu,” harap Ahlam Saleh, seorang lulusan SMA di Sana’a. “Saya lulus dari sekolah tahun lalu, dan saya pikir perang akan berhenti. Tapi ternyata masih berkecamuk. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok, minggu depan atau dalam beberapa bulan mendatang.”
Seperti warga Yaman lainnya, dia pikir koalisi yang dipimpin Saudi akan mendorong Houthis ke meja perundingan. “Harapan itu sekarang hancur,” kata Ahlam Saleh.
“Ternyata Houthi lebih kuat dari yang kami perkirakan setelah kematian mantan Presiden Ali Abdullah Saleh. Dan koalisi Saudi tidak serius untuk mengembalikan Yaman kembali normal.”
Bersiap untuk kematian
Disebut memanfaatkan kekacauan di Yaman, kelompok separatis selatan yang didukung oleh Uni Emirat Arab (UEA), terus mendapatkan tanah di Yaman selatan. Kelompok ini terus mendorong diri melalui klaim mereka untuk kemerdekaan.
Dipersenjatai dan didanai oleh Abu Dhabi, pemerintah Yaman sering bentrok dengan UEA. Pemerintah Yaman menuduh UEA mencoba mengeksploitasi konflik demi kepentingannya sendiri.
Pada Mei 2017, mata-mata Timur Tengah yang bermarkas di London melaporkan bahwa Presiden Hadi menuduh Sheikh Mohammed bin Zayed, putra mahkota Abu Dhabi, bertindak sebagai pasukan pendudukan, lawan dari pasukan pembebasan.
Dan pada Agustus 2017, laporan rahasia oleh panel ahli Dewan Keamanan PBB, menemukan bahwa anggota koalisi yang dipimpin Saudi sedang mengejar agenda sendiri—yang hasilnya semakin memperlemah kepemimpinan Hadi di Yaman.
Ahlam Othman (35), seorang ibu rumah tangga di Sana’a, mengatakan, “Tidak ada pihak yang tertarik untuk mengakhiri tragedi yang terjadi di seluruh negeri (Yaman). Ketika anak-anak saya bertanya, apakah perang akan segera berakhir, saya hanya menjawab dengan jawaban ‘Insya Allah’.”
Dengan pertempuran yang tidak menunjukkan tanda-tanda mereda, Othman merasakan terlalu sulit untuk memberikan jawaban “ya atau tidak” untuk pertanyaan sederhana itu.
“Setiap hari kami bersiap menghadapi kematian, dan ini berlangsung selama tiga tahun terakhir. Setiap hari kami bersiap,” kata Othman. (S)
Sumber: Aljazeera