Pasukan Otoritas Palestina Tangkap Puluhan Pendukung Hamas di Tepi Barat
TEPI BARAT (SALAM-ONLINE): Pasukan Otoritas Palestina (PA) telah menangkap puluhan pendukung Hamas dan aktivis di Tepi Barat dalam dua pekan terakhir setelah serangan bom terhadap konvoi perdana menteri PA di Gaza pada 13 Maret 2018 lalu.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas menuduh Hamas berada di balik serangan terhadap iring-iringan PM Rami Hamdallah. Dia menyebutnya sebagai “upaya pembunuhan” terhadap Perdana Menteri Otoritas Palestina itu.
Hamas membantah tuduhan itu. Gerakan perlawanan yang berbasis di Jalur Gaza itu mengatakan telah melakukan penyelidikan untuk mengungkap siapa di balik ledakan itu.
Hampir dua pekan setelah serangan itu, dua tersangka tewas dalam operasi yang dilakukan oleh pasukan keamanan Hamas. Mereka diidentifikasi sebagai Anas Abu Khousa dan Abdul Hadi al-Ashab, tidak terafiliasi dengan faksi politik Palestina.
Serangan dan penuduhan berikutnya menandai kemunduran serius dalam hubungan antara Hamas dan PA. Hamas dan juga analis menduga kuat serangan itu dilakukan oleh penjajah Zionis yang tak ingin rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah yang ditandatangani Oktober 2017 lalu di Kairo berlanjut.
Sejauh ini, setidaknya 55 orang Palestina ditangkap sebagai bagian dari tindakan keras oleh Otorita Palestina terhadap para pendukung Hamas. Ledakan yang dipahami menyasar konvoi PM Palestina di Jalur Gaza.
Penangkapan harus dihentikan
Hasan Khreisheh, anggota Dewan Legislatif Palestina di Tepi Barat, mengatakan kepada Aljazeera bahwa kampanye penangkapan oleh pasukan keamanan PA terhadap pendukung Hamas “tidak bisa dimengerti dan dibenarkan”.
“Penangkapan ini harus dihentikan demi persatuan Palestina dan untuk mengambil sikap melawan isu-isu yang lebih besar, seperti keputusan Presiden AS Donald Trump untuk memindahkan kedutaan negaranya ke Yerusalem,” kata Khreisheh seperti dikutip Aljazeera, Rabu (28/3).
“Jika PA serius menghadapi masalah-masalah nyata ini, maka mereka harus menghentikan penangkapan,” lanjutnya.
“Mengingat apa yang sedang terjadi di Palestina, penahanan politik memperdalam perselisihan yang tidak masuk akal.”
Hubungan tegang
Fatah, partai yang berkuasa dalam PA, dan Hamas menandatangani perjanjian rekonsiliasi pada Oktober 2017, mengakhiri satu dekade dua pemerintahan paralel yang masing-masing beroperasi di Gaza dan Tepi Barat.
Tetapi kesepakatan itu tidak pernah sepenuhnya dilaksanakan karena perbedaan dua faksi terbesar dalam politik Palestina.
Para analis mengatakan serangan terhadap konvoi Hamdallah dimaksudkan untuk membendung upaya rekonsiliasi.
Abdelsattar Qassam, seorang analis Palestina dan profesor ilmu politik di Universitas an-Najah di Nablus, menuduh PA menerapkan tirani.
“Penangkapan politik di Tepi Barat merupakan serangan terhadap kebebasan berekspresi dan pembentukan opini publik,” katanya kepada Aljazeera.
Qassem menyebut bahwa rekonsiliasi Palestina tidak dapat terjadi di bawah Perjanjian Oslo, yang dianggapnya sebagai sumber pertikaian sipil dan persaingan di antara orang-orang Palestina.
“Solusinya sekarang adalah menyelenggarakan pemilu. Karena, ini satu-satunya pilihan yang mampu membawa kepemimpinan baru yang akan berurusan dengan rakyat Palestina dengan cara baru,” ujarnya. (S)
Sumber: Aljazeera