Bagaimana Mossad Membunuh Targetnya? Ini Penjelasan Pakar Intelijen ‘Israel’
SALAM-ONLINE: Pembunuhan seorang ilmuwan dan Imam Palestina berusia 35 tahun, Fadi Muhammad Al-Bathsy di ibu kota Malaysia, Kuala Lumpur, jadi selubung dari program rahasia yang ditargetkan terhadap orang-orang Palestina yang dianggap sebagai ancaman oleh Zionis “Israel”.
Al-Bathsy mempelajari teknik elektro di Gaza sebelum melanjutkan untuk mendapatkan gelar PhD dalam bidang yang sama di Malaysia.
Dia mengkhususkan diri dalam sistem tenaga dan penghematan energi. Al-Bathsy juga telah menerbitkan sejumlah makalah ilmiah terkait bidangnya ini.
Hamas yang memerintah di Gaza mengatakan Al-Bathsy adalah anggota penting kelompok itu dan menuduh badan intelijen penjajah “Israel”, Mossad, berada di balik kejahatan pada Sabtu (21/4/2018) lalu.
Menyebutnya sebagai anggota “setia”, Hamas mengatakan Al-Bathsy adalah “ilmuwan dan cendekiawan muda Palestina” yang memiliki “kontribusi penting” dan berperani dalam forum internasional di bidang energi.
Kepada Aljazeera, ayah Al-Bathsy mengatakan dia mencurigai Mossad berada di belakang pembunuhan putranya dan meminta ke pihak berwenang Malaysia untuk mengungkap “pembunuhan” tersebut sesegera mungkin.
Meski ada bantahan dari pihak “Israel” terkait pembunuhan Al-Bathsy, namun apa yang diungkapkan pakar intelijen Mossad, Ronen Bergman, menunjukkan badan intelijen Zionis inilah dalang dan pelakunya.
Ronen Bergman, wartawan investigasi “Israel” dan salah satu ahli terkemuka intelijen Zionis, yang juga penulis buku Rise and Kill First, mengungkapkan pembunuhan terhadap Al-Bathsy menunjukkan semua “keunggulan” operasi Mossad.
“Fakta bahwa para pembunuh menggunakan sepeda motor untuk membunuh target mereka—yang telah digunakan di banyak operasi Mossad sebelumnya dan dilakukan sebagai operasi pembunuhan yang bersih dan profesional—menunjukkan keterlibatan Mossad,” kata Bergman kepada Ajazeera melalui telepon.
Identifikasi target
Mengidentifikasi target pembunuhan biasanya berjalan melalui beberapa langkah institusional dan organisasional dalam Mossad, komunitas intelijen “Israel” yang lebih luas dan kepemimpinan politik.
Al-Bathsy misalnya, dapat diidentifikasi sebagai target melalui pengumpulan intelijen secara umum melalui unit-unit di dalam organisasi militer dan intelijen “Israel” yang mengikuti Hamas.
Al-Bathsy juga bisa diidentifikasi melalui operasi intelijen “Israel” lainnya dan jaringan mata-mata “Israel” di seluruh dunia.
Sumber mengatakan bahwa komunikasi Hamas antara Gaza, Istanbul (Turki) dan Beirut (Lebanon) diawasi ketat oleh jaringan intelijen “Israel”. Dengan demikian, pemilihan awal Al-Bathsy bisa dilakukan melalui saluran-saluran ini.
Teman-teman Al-Bathsy yang berbicara kepada Aljazeera dengan syarat tak disebutkan namanya, mengatakan Al-Bathsy tidak menyembunyikan hubungannya dengan Hamas.
“Di komunitas Palestina dia dikenal memiliki hubungan dengan Hamas,” kata seorang teman Al-Bathsy seperti dikutip Aljazeera, Senin (23/4).
Proses pembunuhan
Setelah Al-Bathsy diidentifikasi sebagai target, Mossad kemudian akan mengevaluasi intelijen yang tersedia untuk memutuskan apakah dia harus dibunuh, apa manfaat membunuhnya dan cara terbaik untuk melakukannya.
Setelah unit khusus Mossad menyelesaikan arsipnya pada target, ia mengambil temuannya ke kepala Komite Layanan Intelijen, yang terdiri dari para pemimpin organisasi intelijen “Israel” yang dikenal dengan akronim Ibrani, VARASH atau Vaadan Rashei Ha-sherutim.
VARASH hanya akan membahas operasi dan memberikan masukan dan saran. Namun, ia tidak memiliki otoritas hukum untuk menyetujui suatu operasi.
Hanya perdana menteri (penjajah) “Israel” yang memiliki wewenang untuk menyetujui operasi semacam itu.
Bergman mengatakan bahwa perdana menteri (penjajah) “Israel” biasanya memilih untuk tidak mengambil keputusan itu sendiri karena alasan politik.
“Sering kali perdana menteri (penjajah) melibatkan satu atau dua menteri lain dalam keputusan untuk menyetujui, termasuk menteri pertahanan,” terang Bergman.
Setelah persetujuan diperoleh, operasi kemudian bergerak kembali ke Mossad untuk perencanaan dan pelaksanaan, yang bisa memakan waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, tergantung pada target.
Unit Caesarea
Caesarea adalah cabang operasional yang menyamar di Mossad, bertugas menanam dan menjalankan mata-mata terutama di negara-negara Arab dan di seluruh dunia.
Unit ini didirikan pada awal 1970-an. Salah satu pendirinya adalah agen “Israel” yang terkenal, Mike Harari.
Caisarea memanfaatkan jaringan mata-mata di negara-negara Arab dan Timur Tengah yang lebih luas untuk mengumpulkan informasi, melakukan pengawasan terhadap target saat ini dan masa depan.
Harari kemudian mendirikan unit yang paling mematikan di Caesarea, yang dikenal dalam bahasa Ibrani sebagai Kidon (“bayonet”). Kidon terdiri dari pembunuh profesional yang mengkhususkan diri dalam operasi pembunuhan dan sabotase.
Anggota Kidon sering diambil dari cabang militer “Israel”, termasuk tentara atau pasukan khusus.
Mungkin yang membunuh Al-Batsh di Kuala Lumpur adalah anggota Kidon, kata sumber kepada Aljazeera.
Mossad tidak hanya menargetkan para pemimpin dan operator Palestina, tetapi juga orang-orang Suriah, Lebanon, Iran dan Eropa.
Target operasi pembunuhan
Caesarea setara dengan Pusat Kegiatan Khusus CIA (SAC), yang dulu disebut Divisi Kegiatan Khusus sebelum reorganisasi dan perubahan nama pada 2016.
CIA melakukan misi paramiliter rahasia—termasuk operasi pembunuhan yang ditargetkan—melalui Kelompok Operasi Khusus (SOG), yang merupakan bagian dari SAC dan memiliki beberapa kesamaan dengan Kidonnya Mossad.
Bergman menulis, hingga tahun 2000, yang menandai dimulainya Intifadhah Kedua di wilayah Palestina yang diduduki, “Israel” telah melakukan lebih dari 500 operasi pembunuhan yang mengakibatkan kematian lebih dari 1.000 orang, termasuk target.
Selama Intifadhah Kedua, “Israel” melakukan 1.000 operasi lagi, di mana 168 berhasil, tulisnya, dalam bukunya.
Sejak itu, Israel telah melakukan setidaknya 800 operasi lainnya yang ditujukan untuk membunuh para pemimpin sipil dan militer Hamas di Jalur Gaza dan di luar negeri.
Kerja sama Arab-Mossad
Mossad mempertahankan hubungan organisasi dan sejarah formal dengan sejumlah dinas intelijen Arab, terutama agen mata-mata Yordania dan Maroko.
Baru-baru ini, dan mengingat adanya pergeseran aliansi di kawasan itu dan meningkatnya ancaman dari aktor non-negara bersenjata, Mossad telah memperluas hubungannya dengan badan-badan intelijen Arab untuk memasukkan sejumlah negara Teluk Arab dan Mesir.
Mossad mempertahankan pusat regional untuk operasinya di Timur Tengah yang lebih luas di ibu kota Yordania, Amman.
Ketika Mossad berusaha untuk membunuh pemimpin Hamas Khaled Meshaal di Amman pada 1997 dengan menyemprotkan racun yang mematikan ke telinganya, ada ancaman dari mendiang Raja Hussein untuk memutus hubungan Yordania-Mossad. Ancaman itu mendorong “Israel” untuk memberikan obat penawar racun yang menyelamatkan nyawa Meshaal.
Dalam bukunya, Bergman, mengutip sumber-sumber Mossad mengklaim bahwa Jenderal Samih Batikhi, kepala mata-mata Yordania pada saat itu, marah pada Mossad karena tidak memberitahukannya tentang rencana pembunuhan terhadap Khaled Meshaal, padahal dia ingin merencanakan operasi bersama.
Negara Arab lainnya yang mempertahankan ikatan kuat dengan Mossad sejak 1960-an adalah Maroko, menurut penelitian Bergman.
“Maroko telah menerima intelijen dan bantuan teknis yang berharga dari ‘Israel’. Dan, sebagai gantinya, (mendiang Raja) Hassan mengizinkan orang-orang Yahudi Maroko untuk beremigrasi ke wilayah jajahan ‘Israel’, dan Mossad menerima hak untuk mendirikan sebuah stasiun permanen di ibu kota Rabat, dari mana mereka bisa memata-matai negara-negara Arab,” tulis Bergman.
Kerja sama itu mencapai puncaknya ketika Maroko mengizinkan Mossad menyadap ruang pertemuan dan kamar-kamar pribadi para kepala negara Arab dan komandan militer mereka selama KTT Liga Arab di Rabat pada 1965. KTT diadakan untuk membentuk komando militer Arab bersama.
Metode CIA dan Mossad
Tidak seperti Mossad dan organisasi intelijen “Israel” lainnya yang memiliki kelonggaran besar dalam memutuskan siapa yang akan dibunuh, badan intelijen AS, CIA, menggunakan proses hukum ketat berjenjang yang melibatkan Kantor Penasihat Umum CIA, Departemen Kehakiman AS dan Kantor Penasihat Hukum Gedung Putih.
Eksekusi operasi pembunuhan yang jadi target CIA akhirnya bergantung pada Kewenangan Presiden.
Proses peninjauan multi-lembaga, yang dilakukan terutama oleh pengacara di departemen kehakiman, Gedung Putih dan CIA, harus dilakukan sebelum presiden membubuhkan tanda tangannya pada Otorisasi Temuan Presiden.
Diperkirakan, Barack Obama, sebagai presiden AS, mengesahkan sekitar 353 operasi pembunuhan yang ditargetkan, terutama dalam bentuk serangan pesawat tak berawak.
Pendahulunya, George W Bush mengesahkan sekitar 48 operasi pembunuhan yang ditargetkan.
Proses hukum
Seorang mantan pejabat senior CIA mengatakan kepada Aljazeera tentang kondisi anonimitas bahwa “CIA tidak memutuskan siapa yang akan dibunuh”.
“Proses hukum membuat sangat sulit bagi CIA untuk membunuh seseorang hanya karena CIA mengira dia orang jahat,” katanya.
Sebagian besar operasi pembunuhan yang ditargetkan CIA melibatkan serangan pesawat tak berawak dan didasarkan pada otorisasi oleh presiden.
Kepada Aljazeera, Robert Baer, mantan petugas operasi CIA, mengatakan, Gedung Putih harus menandatangani operasi pembunuhan yang ditargetkan, terutama jika sang target bernilai tinggi.
“Di Mossad, legalitas pembunuhan terhadap target siapa pun jauh lebih liberal dan tidak melibatkan proses hukum seperti dilakukan oleh CIA,” demikian menurut sumber yang akrab dengan proses tersebut.
“Ini adalah bagian dari kebijakan nasional mereka,” kata Baer, mengacu pada kebijakan pembunuhan yang jadi target “Israel”. (S)
Sumber: Aljazeera