JAKARTA (SALAM-ONLINE): Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memutuskan menolak gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menuntut pembatalan keputusan Kemenkumham yang mencabut status badan hukum HTI membubarkan organisasi tersebut.
Kuasa hukum HTI yang juga Pakar Hukum Tata Negara, Prof Yusril Ihza Mahendra menilai keputusan PTUN itu sangat tidak tepat. Setidaknya Yusril memiliki tiga catatan kontra keputusan PTUN tersebut.
Pertama, pertimbangan majelis hakim yang menyatakan HTI (penggugat) tidak memberlakukan Perppu Nomor 2 tahun 2017 (perppu Ormas), menurut Yusril sangat tidak mendasar. Pasalnya Menteri Hukum dan HAM baru mendapatkan kewenangan menjatuhkan pencabutan status badan hukum tanggal 10 Juli 2017 sejak Perppu nomor 2 tahun 2017 diterbitkan.
Sebelum itu, Yusril mengungkapkan, Menteri tidak berwenang, sebab kewenangan pencabutan status badan hukum masih milik pengadilan.
“Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013,” ungkap mantan Menkumham ini saat konferensi pers di Kantor ex-HTI, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (8/5).
Kedua, pertimbangan yang menyatakan berupa buku dan bukti elektronik seperti video yang dianggap sah oleh majelis hakim, menurut Yusril, jelas keliru. Sebab, buku yang disertakan di pengadilan bukanlah peristiwa hokum (fakta), melainkan sekadar referensi ilmiah.
“Referensi ilmiah itu tidak pernah dikonfirmasi secara sah melalui pemeriksaan yang fair dan objektif,” terangnya.
Selanjutnya video yang dijadikan dasar, kata Yusril, ternyata baru diverifikasi pada 19 Desember 2017, tepat lima bulan setelah Surat Keputusan Menkumham Nomor AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017. Dengan demikian, hal ini, menurut Yusril, Menkumham tidak memiliki bukti saat membuat putusan.
“Hal ini membuktikan bahwa bukti baru dicek orisinalitasnya setelah hukum dijatuhkan,” kata Yusril.
Ketiga, ihwal pertimbangan hakim yang menyatakan penerbitan SK Menteri tersebut telah sesuai Prosedur, lagi-lagi dianggap Yusril tidak mendasar. Pasalnya, fakta membuktikan tidak pernah ada pemeriksaan secara langsung terhadap HTI saat akan dibubarkan.
“Tidak pernah ada konfrontir atas keterangan dan bukti sehingga ketiadaan pemeriksaan yang fair dan objektif (due process of law) itu jelas menunjukkan penghukuman dilakukan tanpa prosedur yang cukup.
UU PTUN, terang mantan Mensesneg ini, telah menyediakan saluran keberatan atas putusan, yakni banding. Oleh karenanya dia mengatakan akan mempersiapkan upaya hukum banding untuk meluruskan keputusan PTUN itu demi keadilan dan kepastian hukum.
Kendati demikian meski pihaknya akan mengajukan banding, Yusril menyatakan menghormati keputusan PTUN Jakarta tersebut. “Namun demikian, kami menghormati keputusan pengadilan,” kata Yusril. (MNM/Salam-Online)