Ketum MUI Sumbar: Apakah Harus Pakai ‘Islam Nusantara’, Baru tak Radikal?
SALAM-ONLINE: Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, Buya Gusrizal Gazahar, kembali menegaskan bahwa keputusan MUI Sumbar yang menyatakan menolak konsep dan istilah “Islam Nusantara” di ranah Minang adalah keputusan bersama para ulama.
Keputusan itu, kata Buya Gusrizal, diambil setelah MUI Sumbar yang di dalamnya juga terdapat para ulama berasal dari Nahdlatul Ulama (NU) melakukan beberapa kajian mengenai konsep dan implementasi “Islam Nusantara” tersebut.
“Itu keputusan bersama kok, bukan keputusan Gusrizal sendiri,” ungkapnya kepada Salam-Online melalui sambungan telepon, Rabu (1/8/2018) sore.
Menurut Gusrizal, “Islam Nusantara” secara konsep dan implementasi jelas tidak bisa diterapkan di tanah Minang, karena Minang telah memiliki konsepnya sendiri terkait sikap keberagamaan dan kebudayaan.
Secara konsep, “Islam Nusantara” yang mensejajarkan antara budaya dengan agama, ujar Buya Gusrizal, bertentangan dengan konsep yang selama ini dikembangkan di Minang, yakni “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”.
“Nah, itu yang bertolak belakang dengan sistem di Minangkabau. Di Minangkabau Islam itu di atas dibandingkan adat dan budaya. Makanya petuahnya syara’ mengatur, adat memakai. Jadi adat istiadat memakai syariat,” terang alumnus Fakultas Syari’ah wa al-Qanun Universitas Al-Azhar Mesir ini.
Sementara dalam implementasi, “Islam Nusantara”, ungkap Gusrizal, kerap menyebarkan kebencian terhadap umat Islam lain, terutama kepada Arab, dengan menuduh radikal dan lain sebagainya.
“Di sumatera Barat kan seperti itu tidak boleh lagi” tukasnya.
“Apakah harus pake ‘Islam Nusantara’, baru tidak radikal?” tanyanya.
Ditegur MUI Pusat
Sebelumnya, pasca MUI Sumbar mengeluarkan surat penolakan konsep dan istilah “Islam Nusantara”, timbul reaksi dari salah satu pengurus MUI Pusat, Zainut Tauhid, yang mengatakan sikap MUI Sumbar tidak tepat dan tidak sesuai dengan fungsi MUI.
Menanggapi hal tersebut, Buya Gusrizal memastikan bahwa MUI pusat secara kelembagaan sendiri belum mengeluarkan sikap. Apa yang dinyatakan Zainut Tauhid di media massa, kata Gusrizal, adalah sikap pribadinya.
“Kalau MUI itu gak bisa pribadi kan. Itu terserah beliau secara pribadi. Beliau tidak bisa menyatakan pendapat MUI Pusat,” tegas Gusrizal.
Apalagi, terang Gusrizal, secara struktural, antara MUI pusat dan daerah tidak bersifat hirarki. MUI di daerah berhak mengeluarkan keputusan apapun menyesuaikan dengan apa yang terjadi di daerah masing-masing. Dengan demikian, ungkap Gusrizal, keputusan penolakan terhadap istilah “Islam Nusantara” adalah untuk konteks Sumatera Barat. Bukan untuk daerah lain.
“Konsultatif dan koordinatif itu jika diperlukan, tidak wajib. Persoalan (‘Islam Nusantara’) dalam ruang lingkup yang diputuskan dalam wilayah Sumatera Barat, ‘Islam Nusantara’ mau dibawa ke mana-mana terserah saja. Sumatera Barat tidak membutuhkannya,” tegas Gusrizal. (MNM/Salam-Online)