Sehari usai melahirkan, Zaera kembali mempertaruhkan nyawa menyelamatkan bayinya.
LOMBOK (SALAM-ONLINE): Guncangan itu membuat lantai terasa bergelombang. Dinding menggedor-gedor. Atap bergeretak mengeluarkan suara yang mencekam.
Tak lama berselang, gemuruhnya kian jelas. Suasana tiba-tiba mendadak kacau. Dalam hitungan detik, terdengar banyak barang terbanting, kaca pecah, hingga akhirnya retakan dinding mulai berhancuran.
“Aku segera meraih anakku. Memeluknya dengan erat. Dan membiarkan punggungku terhantam reruntuhan demi melindungi bayi yang baru kulahirkan sehari lalu,” begitulah cerita Zaera Futasari (17), warga dusun Jorong, Desa Sembalun Bumbung, Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Pagi itu, semua penghuni rumah berhamburan keluar mencari pertolongan. Sementara Zaera dan bayinya masih terperangkap dalam kamar.
Orang-orang, kata Zaera, keluar rumah mencari pertolongan. Semuanya khawatir dengan keselamatan bayinya.
“Namun kejadiannya begitu cepat, jadi saya sendiri yang harus menolongnya,” kisah ibu muda ini kepada INA News Agency, Ahad (12/8/2018).
Zaera baru saja melahirkan pada Sabtu, 28 Juli 2018. Perjuangan dan pengorbanan saat melahirkan terbayar lunas dengan haru bahagia saat sang anak lahir.
Namun kebahagiaan itu berubah seketika dalam satu hari. Zaera terpaksa kembali bertaruh nyawa untuk menyelamatkan bayinya dari amukan gempa.
Saat gempa mengguncang, bata-bata keras yang hampir saja menimpa sang bayi berhasil ia hindari. Namun nahas, reruntuhan itu menghantam punggungnya dengan keras hingga berdarah.
Pada saat kejadian, Zaera tak ditemani suami yang tengah bekerja mengantar para pendaki di Gunung Rinjani. Beruntung, suaminya, Abdul Muis (25) selamat dari longsor di Rinjani.
Meski demikian, pengorbanan dan kecemasan belum berakhir. Malam hari usai kejadian, Zaera dan keluarganya harus bermalam beratap langit dan guyuran hujan.
Kecamatan Sembalun memiliki ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (MDPL). Oleh karenanya, suhu udara, terutama saat malam hari, terasa sangat dingin. Terlebih ketika hujan turun. Hal itulah yang membuat Zaera dan keluarganya tetap membuka mata demi menjaga keselamatan sang bayi.
Semalaman ia tidak tidur. Rela terhempas udara dingin yang bercampur guyuran hujan. Sepanjang malam dia dan keluarganya melantunkan Asma’ Allah.
Akhirnya cahaya menyemburat menembus langit Sembalun. Pada pagi itu juga nama ‘Muhammad Tandu’ diberikan kepada sang bayi. Nama ‘Tandu’ sendiri menjadi penanda atas peristiwa yang terjadi. Bukan hanya sekadar untuk mengingat suasana darurat saat gempa. Lebih dari itu, Tandu adalah sosok yang akan mengingatkan kebesaran Allah yang telah mengajarkan banyak hikmah di balik bencana.
Sejak kejadian gempa pertama pada 29 Juli 2018 itu, Tandu tinggal di dalam tenda. Tempat yang tidak layak bagi seorang bayi. Namun Rahman-Nya Allah memancar ke dalam hati seorang ibu.
Selama di pengungsian, Tandu tak pernah lepas dari pelukan sang bunda. Ya, begitulah ibu, semua yang ia perjuangkan adalah tentang kebahagiaan anaknya. (Hilman/INA)