Taufik menyadari apa yang menimpanya adalah ketentuan terbaik dari Allah.
LOMBOK (SALAM-ONLINE): Manusia tak bisa mengira apa yang terjadi di masa mendatang. Banyak yang tak terprediksi, dan itu terjadi.
Banyak hal yang direncanakan jauh-jauh hari, tapi tak kunjung terealisasi. Atau bahkan ada pula yang baru saja meraih bahagia, sirna seketika.
Itulah yang dialami Taufik (31), pengungsi Dusun Jorong, Desa Sembalun Bumbung, Sembalun, Lombok Timur.
Selama 10 tahun Taufik bekerja di sebuah restoran di Legian, Bali. Mulai 2005 hingga 2015, ia bekerja keras mengumpulkan uang demi rumah idaman keluarga. Namun nahas, rumah hasil menabung 10 tahun itu, ambruk dalam 15 detik akibat gempa Lombok.
Taufik membangun rumah secara berangsur. Hasil gajinya setiap bulan ia kirim ke Lombok untuk membangun rumah. Bahkan ia terpaksa berutang ke toko bangunan agar rumahnya cepat selesai.
“Setiap bulan saya kirim 1 juta, kadang 2 juta untuk bangun rumah. Dan selama 10 tahun itu saya terus nyicil untuk bayar utang bangunan,” ungkap Taufik kepada INA News Agency (INA), Kamis (16/8/2018).
Rumah Taufik roboh. Dan, gerai pulsa miliknya pun rusak parah. Sebagian dindingnya roboh, Lantai atasnya retak-retak. Gerai pulsa yang menjadi mata pencariannya tak lagi bisa digunakan.
“Sedih saya kalau mengingatnya, kerja selama 10 tahun terasa tidak ada artinya,” ujarTaufik menahan tangis.
Namun ia menyadari bahwa apa yang menimpanya adalah ketentuan terbaik dari Allah. Ia mengatakan bahwa gempa yang menimpanya membuatnya merenung.
“Saya ambil hikmahnya, mungkin kita banyak salah,” ungkapnya.
Meski ditimpa bencana, Taufik tetap bersyukur. Ia mengungkapkan meski saat ini rumah dan mata pencariannya tidak ada, tapi ia tetap bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup. Dan karena alasan itulah, ia merasa masih banyak orang yang di bawahnya yang lebih layak untuk ditolong.
“Masih banyak yang di bawah kita, jadi kita masih punya banyak alasan untuk bersyukur,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Hal serupa dialami Hadri (36), warga Dusun Reguar, Desa Bilopetung, Sembalun, Lombok Timur. Rumah yang baru dibangunnya, ambruk dalam hitungan detik.
Hadri membangun rumah hasil jerih payahnya merantau selama 6 tahun di Samarinda, Kalimantan Timur. Di rumah yang baru saja ia tempati selama dua bulan, ia tinggal bersama anaknya, Erik Pramanagandi (11), mertua, dan anak yatim yang ia asuh sejak kecil.
Rumah Hadri rata dengan tanah. Yang tersisa hanya puing-puing yang berserakan. Kini ia tinggal di tenda sebelah reruntuhan dengan keadaan serba kekurangan.
“Kami tinggal di sini seadanya. Ndak ada selimut sama kekurangan air,” terang Hadri. (Hilman Indrawan/INA)