JAKARTA (SALAM-ONLINE): Puluhan ribu massa, Jumat (2/11/2018) siang ini kembali menggelar aksi di sekitaran Patung Kuda dan Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, untuk memprotes pembakaran bendera berlafadz tauhid di Garut beberapa waktu lalu.
Aksi 211 yang dikawal sekitar 14.000 personel polisi hari ini merupakan lanjutan unjuk rasa pada Jumat, 26 Oktober lalu. Meski Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Wiranto menyatakan aksi tersebut menghabiskan energi dan sudah tak lagi relevan, namun dari paparan para tokoh dan aktivis Islam dalam orasinya, mereka mendesak pemerintah dan PBNU supaya mengakui bahwa yang dibakar anggota Banser NU itu adalah bendera tauhid, bukan bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Sejumlah kelompok massa yang diinisiasi oleh Presidium Alumni 212 dan Gerakan Pengawal Fatwa Ulama hari ini, Jumat (2/11) menggelar demonstrasi bertajuk Aksi Bela Tauhid Jilid 2. Kalau aksi pada Jumat 26 Oktober lalu itu terkonsentrasi di depan kantor Kemenkopolhukam, unjuk rasa kali ini digelar di depan Istana Negara.
Usai shalat jumat di Masjid Istiqlal, massa yang datang dari berbagai daerah itu bergerak menuju Patung Kuda.
Sementara, Wiranto kepada wartawan mengatakan, kepolisian sudah sungguh-sungguh melakukan proses hukum dengan menetapkan beberapa tersangka yang berkaitan dengan kasus pembakaran tersebut dan akan segera dilimpahkan ke pengadilan.
Masalahnya, pengunjuk rasa minta pemerintah dan PBNU untuk mengakui yang dibakar tempo hari oleh anggota Banser NU itu adalah bendera bertuliskan kalimat tauhid yang dikenal sebagai Ar-Rayah (Panji Rasulullah).
Memang, sejak pembakaran bendera tersebut, pemerintah, aparat, GP Ansor dan Banser serta PBNU selalu menyebut itu sebagai bendera HTI, meskipun tak ada tulisan atau logo HTI. Bahwa bendera dengan kalimat tauhid tersebut kerap digunakan HTI dalam aksi dan aktivitasnya, sebagaimana dikatakan Waketum MUI Zainut Tauhid Sa’adi, namun, bagi pengunjuk rasa, itu bukan berarti pemerintah dan PBNU terus “ngeyel” untuk menyatakan panji tersebut sebagai bendera HTI. Karena, kenyataannya, seperti dikatakan juru bicara HTI Ismail Yusanto, itu memang bukan bendera HTI. Dalam AD/ARTnya, kata Ismail, tak ada disebut itu bendera HTI. HTI cuma menggunakan bendera bertuliskan dua kalimat syahadat yang dikenal sebagai Ar-Rayah dan Al-Liwa itu saat beraktivitas, termasuk kala menggela aksi.
Bendera atau panji Rasulullah itu, siapa saja atau kelompok Islam mana pun bebas menggunakannya sebagai spirit mereka.
Jika pemerintah, aparat hukum, PBNU, Banser, dan lainnya tetap bersikeras menyebut itu sebagai bendera HTI, dikhawatirkan pasal-pasal hukum yang ditujukan kepada para pembakarnya menjadi kurang greget.
Itu hanya salah satu di antara sekian tuntutan massa demonstran. Selebihnya, selain mendesak PBNU agar minta maaf, umat Islam yang menggelar demo itu mendesak kasus pembakaran bendera bertuliskan kalimah ‘Laa Ilaaha Illallah’ tersebut diproses hukum dan diselesaikan dengan ADIL. Sementara proses hukum saat ini dinilai masih menimbulkan kegeraman.
Menurut Ketua Masyarakat Unggul (MAUNG) Istitut Bandung M Rizal Fadillah, SH, Pasal 156 a KUHP sangat pantas untuk menjerat si penoda (pembakar). Sementara pembawa bendera tidak menodai agama. Dia tidak membuat gaduh juga. Perbuatan pembawa bendera itu selesai setelah benderanya dirampas.
Jika bendera atau Panji Rasulullah itu disebut milik HTI, dikhawatirkan proses hukum menjadi tidak maksimal. Bisa dihukum ringan. Karena dianggap bukan penodaan terhadap agama.
Sempat diberitakan para pembakar bendera dilepas melepas begitu saja dengan alasan ‘tak ada niat’, menurut Rizal, itu sungguh memilukan. Menurutnya, di samping niat termasuk yang sulit dibuktikan dan tidak menjadi pokok perbuatan pidana (alpa saja bisa menjadi delik) juga kesimpulan bahwa “tak ada unsur pidana” harus lengkap inputnya, termasuk dari saksi ahli pidana, bahasa, ahli jiwa maupun agama.
Masalah yang luar biasa dan berdampak besar tapi diselesaikan secara sederhana, ujarnya, pasti akan mengoyak rasa keadilan masyarakat.
Yang juga mengganjal, sehingga aksi berlanjut, masih kata Rizal, nuansa politik sangat kental. Kambing hitam HTI terlalu kentara. Mencari penyelesaian dengan memojokkan HTI sebagai organisasi Islam terlarang, membangun stigma seolah seperti PKI, padahal berbeda, bak antara langit dan bumi. Sayangnya Banser bersorak dengan stigmatisasi seperti ini. Itu proteksi yang zalim, kata Rizal.
Apa yang dilakukan pembakar, ujar Rizal, adalah perbuatan ‘sengaja’ (opzet/dolus) yang sekurang-kurangnya dalam makna sadar dengan kepastian (zekerheidbewustzijn) atau minimal ia tak bisa menghindar dari sengaja dengan kemungkinan (voorwardelijke opzet).
Ketika terjadi perdebatan, pengadilanlah lembaga pemutus bersalah atau tidak. Adalah ADIL membawa kasus ini ke ruang pengadilan. Bukan buru -buru menyatakan tak bersalah atas dasar ‘tidak ada niat’.
Itu belum lagi kekhawatiran menjadi tertutup untuk mengusut kemungkinan skenario dari ‘gerakan sengaja’ mencari korban-korban “bendera HTI”, untuk mendeskriditkan umat Islam, khas pekerjaan ‘menghalalkan segala cara’ Gerakan Komunis, kata Rizal.
Maka, sekali lagi, menurut umat Islam yang juga menggelar demo hari ini di Garut, kasus pembekaran bendera tauhid itu masuk ranah pidana (penodaan terhadap agama) pasal 156a. (*)