SALAM-ONLINE: Penindasan terhadap Muslim Uighur, alhamdulillah, menyatukan umat Islam di berbagai negara. Di Indonesia, sejumlah daerah menggelar aksi dan diskusi berkaitan dengan etnis Uighur yang juga disebut beretnis Turki tersebut.
Etnis yang berdiam di Turkistan Timur—kemudian berubah namanya menjadi Xinjiang setelah dijajah Cina—sejatinya memang punya akar sejarah dengan Turki. Oleh karenanya, Muslim Uighur mendapat tempat di Turki, apalagi mereka juga menguasai Bahasa Turki.
Dari 11 juta lebih populasi Muslim Uighur di wilayah jajahan Cina itu, sekitar satu juta atau kurang lebih 10 persennya telah mendekam dalam kamp konsentrasi rezim komunis Cina. Mereka dituduh sebagai ekstremis dan teroris—tuduhan yang menurut Amnesty International—tak didukung oleh bukti-bukti yang meyakinkan.
Apa pun tuduhan buruk yang dialamatkan kepada Muslim Uighur, bagi umat Islam, sulit untuk mempercayainya, apalagi si penuduh adalah rezim yang menindasnya. Justru bukti-bukti penindasan itulah yang dipercaya umat Islam. Muslim Uighur misalnya dilarang shalat di masjid, dilarang puasa, dilarang berjilbab, dilarang menyimpan Al-Qur’an, sajadah dan simbol-simbol yang menunjukkan ke-Islaman. Jika melanggar larangan itu, mereka dimasukkan ke dalam kamp konsentrasi.
Oleh karena itu, umat Islam di berbgai negara serentak menggelar aksi untuk membela Muslim Uighur.
Di Indonesia, pada Jumat, 21 Desember 2018 berbagai daerah seperti Jakarta, Bandung, Solo, Yogya, Medan, dan lainnya menggelar aksi memprotes kekejaman penjajah itu. Umat Islam menyebutnya dengan Aksi 2112 (21 Desember).
Di Jakarta, massa Aksi 2112 memenuhi depan Kedutaan Besar (Kedubes) Cina di kawasan Mega Kuningan. Ruas jalan di sepanjang jalan tersebut mau tak mau harus ditutup selama demo berlangsung. Ribuan polisi yang dibantu TNI mengawal aksi damai ini.
Namun lucunya, sehari sebelum umat Islam di Jakarta menggelar aksi ini, di media sosial beredar pengumuman dari Kedubes Cina bahwa pada Jumat, 21 Desember 2018, di hari demo itu, aktivitas Konsuler mereka tutup sementara.
Massa yang berdemo di depan Kedubes Cina itu menyebut penutupan Konsuler itu sebagai tindakan pengecut. Tidak berani menghadapi dan menemui perwakilan para pendemo. Maka, teriakan, “Usir Dubes Cina” dari Indonesia pun menggema di tengah-tengah unjuk rasa.
Berbagai spanduk pembelaan dan simpati terhadap Muslim Uighur juga mewarnai aksi. Para orator menyampaikan pernyataan solidaritas mereka terhadap saudara-saudara mereka yang tengah dijajah oleh rezim komunis Cina. Dan, disambut dengan penuh antusias oleh peserta aksi.
Begitu terasa ikatan ukhuwah umat Islam terhadap sesama saudaranya yang dijajah dan ditindas di negerinya sendiri, Turkistan Timur, yang oleh rezim Cina diganti menjadi Xinjiang. Ikatan Ukhuwah yang mempersatukan umat Islam inilah yang dulu pernah berhasil menguatkan, membangkitkan dan menjayakan umat Islam.
Semakin banyak umat Islam yang menderita, dizalimi dan ditindas, maka Muslim lainnya yang sungguh-sungguh dalam ber-Islam, akan kian merapatkan barisan—seperjuangan—untuk membangun solidaritas dunia Islam, bersatu membela dan membebaskan saudara-saudaranya.
Spirit dan perjuangan ini, jika benar-benar dikemas dengan Ikatan Ukhuwah, insya Allah akan menjalar dan meluas menjadi gerakan kebangkitan yang membebaskan umat Islam dari penjajahan dan penindasan. Selanjutnya, membentuk kepemimpinan sendiri, baik dalam level negara maupun dunia Islam, yang tak bisa didikte atau diatur-atur oleh musuh. (*)