Pemerintahan Joko Widodo membeli 51,2 persen saham PT Freeport. Padahal, menurut Wakil Ketu DPR Fadli Zon, tak usah dibeli pun nanti pada 2001 kontrak Freeport itu berakhir. Pengamat ekonomi Dr Faisal Basri menyatakan, ini Freeport punya Indonesia, kok dibeli. Apalagi membelinya dengan berutang. Pengamat ekonomi Dr Dradjad H Wibowo pun turut mengkritisi pembelian itu.
JAKARTA (SALAM-ONLINE): Pengambilalihan saham PT Freeport Indonesia sebesar 51,2 persen oleh PT Inalum (BUMN) yang uangnya berasal dari hasil mengutang, dikritisi. Siapa yang bayar utang itu nantinya? Pastinya akan pontang-panting bayarnya.
Pengamat ekonomi Dr Dradjad H Wibowo mewanti-wanti, generasi mendatanglah yang harus pontang-panting membayar utang dari pembelian saham Freeport tersebut.
Apalagi, kata Dradjad, pembelian saham senilai Rp 55,8 triliun tersebut terlampau mahal.
Dari sisi pembiayaan, menurutnya, transaksi tersebut dibiayai dengan utang korporasi berupa obligasi global dalam valas. Konkretnya, PT Inalum menerbitkan obligasi global senilai 4 miliar dolar AS dengan kupon antara 5,5 persen hingga 7,375 persen yang dicatatkan di Amerika Serikat.
“Masalahnya, kupon (atau bunga) obligasi tersebut mahal sekali. Yaitu, antara 1,5 sampai 2 persen lebih mahal dari obligasi dolar pemerintah. Padahal obligasi dolar pemerintah sekarang sedang mahal-mahalnya,” ungkap Dradjad seperti dilansir RMOL.co, Senin (24/12/2018).
Langkah tersebut, kata Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) ini, menunjukkan bahwa rezim Joko Widodo bukan hanya banyak berutang, tapi juga utang yang mahal pun ditubruk. Buktinya, ujar Dradjad, transaksi Freeport memakai utang yang sangat mahal, pembangunan infrastruktur pun demikian.
“Ini itu pakai utang, bahkan sebagian mahal sekali. Nanti siapa yang membayar? Ya rakyat dan anak cucu. Mereka membayar melalui pajak ini itu, cukai ini itu, tarif ini itu dan sebagainya. Jadi ibaratnya, saya membangun rumah yang bagus. Tetangga memuji saya. Tapi anak saya yang harus pontang-panting membayarinya. Apakah ini pro rakyat?” Dradjad mempertanyakan.