-CATATAN M RIZAL FADHILLAH, SH-
Sebelumnya Pardede, Alfian Tanjung, Bambang Tri, Jonru, Gus Nur, Dahnil, Habib Bahar dan tentu saja Habib Rizieq Syihab. Amien Rais pun pernah diperiksa. Kini sebagaimana beredar di media, Rocky Gerung mulai mendapat panggilan Polisi.
SALAM-ONLINE: Vonis Hakim Pengadilan dalam kasus Ahmad Dhani berdimensi ganda. Pertama, wajar dan kedua, mengejutkan. Wajar, karena ini adalah putusan tingkat pertama 1,5 tahun yang bisa dilakukan proses banding. Ada perjuangan lanjutan. Mengejutkan, karena ada perintah langsung masuk penjara. Artinya, kini Ahmad Dhani ditahan.
Kasus yang dihadapi adalah cuitan di twitter yang isinya sebenarnya hal yang biasa beredar di medsos. Bahkan yang dilakukan oleh yang lain bisa jauh lebih vulgar. Putusan hukum ini sangat sarat politis. Dhani korban pasal ujaran kebencian. Alat hukum paling empuk kekinian untuk membungkam ekspresi politik kritis.
Ahmad Dhani masih pula harus menghadapi kasus vlog “idiot” di Surabaya saat dirinya dipersekusi tak bisa keluar dari hotel tempatnya menginap. Permasalahan hukum yang didera Dhani menjadi bagian dari “korban politik” dengan menggunakan alat hukum.
Aktivis, seniman, ulama , jurnalis yang memiliki sikap kritis dan oposan pada pemerintah menjadi target. Sebelumnya Pardede, Alfian Tanjung, Bambang Tri, Jonru, Gus Nur, Dahnil, Habib Bahar dan tentu saja Habib Rizieq Syihab. Amien Rais pun pernah diperiksa. Kini sebagaimana beredar di media, Rocky Gerung mulai mendapat panggilan Polisi.
Kepada oposisi, pisau hukum sangat tajam. Kepada pendukung atau orang dalam lingkaran rezim, hukum tumpul. Padahal sama saja perbuatan yang dilaporkan. Kasus Viktor Laiskodat, Sukmawati, Abu Janda, Royson Jordhani, penyerang Novel dan Hermansyah, Ade Armando, dan lainnya.
Tim Advokasi (TA) GNPF Ulama pada 22 Desember 2017 juga merilis sejumlah nama dari pihak pro rezim yang tak kunjung diproses hukum.
Mereka, dalam daftar TA GNPF Ulama, selain nama-nama di atas, adalah Nancy Cyanthia Weber, Pariyadi atau Gus Yadi, Suresh Kumar, Yohannes L Tobing, Norman Sophan, Hengky Suryawan, Franz Magnis Suseno serta situs Seword.com, merupakan di antara sederetan kasus yang tak jelas sampai sekarang, meski sudah dilaporkan. Megawati pun telah dilaporkan atas ujaran “tak percaya akhirat”.
Dari sekian nama yang dilaporkan, baru satu orang yang ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Ade Armando. Namun, meski sudah lama jadi tersangka, hingga kini pria yang dilaporkan atas pasal penodaan agama dan pasal ITE itu proses hukumnya ‘mangkrak’, tenggelam.
Sebuah lembaga advokasi mengaku telah melaporkan 30 kasus yang tak diproses. Tebang pilih kasus seperti ini adalah cermin dari ketidakadilan hukum.
Rezim Jokowi dinilai sebagai rezim yang represif, membungkam oposisi dengan perangkat hukum. Hukum tidak mandiri tapi kepanjangan tangan dari politik. Mereka yang belajar hukum mesti ingat pada simbol “dewi keadilan” dimana tangan yang satu membawa timbangan dan tangan lain membawa pedang. Matanya tertutup. Keadilan tidak pandang bulu.
Namun kini simbol itu seperti telah berubah. Jika tidak kedua tangan yang membawa pedang, maka timbangan telah diganti uang. Lalu sang “dewi” telah berubah pula menjadi “dewa” yang membelalakkan mata. Penuh ancaman. Mata liar yang dikendalikan oleh kekuasaan dan uang.
Jika gaya berkuasa tidak diubah dan pola penanganan hukum masih berat sebelah, maka ke depan korban-korban ketidak adilan akan terus bertambah. Catatan hitam semakin tebal. Sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah kelak akan sampai pada fase gelap ini.
Moga kita sadar untuk mewariskan cerita kegemilangan kepada generasi yang akan datang. Bukan cerita kelam dari ketidakadilan politik dan hukum. Jejak yang memang sulit untuk dihapus.
Bandung, 30 Januari 2019
-Penulis Ketua Masyarakat Unggul (MAUNG) Bandung Institute