-CATATAN M RIZAL FADHILLAH-
Meskipun sudah sering Said Aqil melempar ungkapan kontroversial, namun kali ini menyodok semua elemen umat Islam non-NU dengan menyatakan ‘selain NU salah semua’, seolah kebenaran itu milik NU dan satu-satunya organisasi ‘yang benar’ hanya NU.SALAM-ONLINE: Pernyataan Ketum PB NU Said Aqil Siradj mengenai jabatan-jabatan di berbagai lembaga dari Menteri (di Kementerian Agama) sampai KUA, Imam dan Khatib harus semua NU, telah menimbulkan kegelisahan dan tanggapan. Dari MUI Pusat pun menyayangkan pernyataan tersebut.
Bahwa perjuangan atau motivasi kepada kader Nahdlatul Ulama (NU) untuk menguasai jabatan-jabatan bisa saja dianggap wajar. Akan tetapi dengan kalimat ‘selain dari NU salah semua, maka tentu dinilai tak wajar jika diungkap oleh seorang pejabat puncak organisasi kemasyaratan Islam.
Meskipun sudah sering Said Aqil melempar ungkapan kontroversial, namun kali ini menyodok semua elemen umat Islam non-NU dengan menyatakan ‘salah semua’, seolah kebenaran itu milik NU dan satu-satunya organisasi ‘yang benar’ hanya NU.
Sikap ini sebenarnya adalah ‘arogansi’ dalam klaim kebenaran. Sebagai Muslim, apalagi tokoh, seharusnya tingkat pengendalian emosi cukup tinggi. Meski diucapkan pada acara organ NU sendiri yakni peringatan Harlah Muslimat NU tapi terdengar dan tersebar luas. Banyak kelompok umat yang merasa “tertampar” oleh ucapan sang kiai ini. Melihat karakternya, jika ditegur pun maka nampaknya teguran dari manapun akan diabaikan.
Biasanya yang dijadikan isu dan diangkat oleh Kiai Said Aqil terhadap kelompok yang diwaspadai adalah kelompok “intoleran”, “anti kebhinnekaan”, atau “radikal” versinya. Nah saat ini terbukti sebenarnya Said Aqil-lah yang intoleran, anti kebhinnekaan dan radikal itu.
Menafikan eksistensi kekuatan atau organisasi lain apalagi sesama organisasi dakwah bukan saja tidak etis tapi juga tidak berdiri di kaki realitasnya. Sangat kontra produktif. Pemahaman Islam di bumi Nusantara ini sangat beragam dan tidaklah seragam. Inilah kekayaan bangsa. Karenanya harus toleran (tasamuh). Kecuali paham keagamaan yang sesat atau masuk kategori penodaan agama yang tidak boleh ditoleransi.
Fakta yang ada adalah banyaknya ormas Islam dengan perbedaan pemahaman keagamaan. Meski nuansa perbedaan itu sebenarnya bersifat furu’iyah atau metodologi istinbath hukum atau pada strategi pengembangan dakwah.
Dalam banyak kesempatan Said Aqil ketika membahas kemajemukan agama, sering mengungkapkan bahwa semua agama itu sama dalam mencari kebenaran dan semua agama itu menginginkan kebaikan. Ber “misan” satu dengan yang lain. Menurutnya, semua agama memiliki nilai-nilai universal. Bagi Said Aqil tidak perlu merasa fanatik pada kebenaran agama sendiri.
Di sinilah ironi dari pandangannya itu, ketika konteksnya adalah agama-agama maka “semua benar”. Tapi ketika internal sesama umat Islam menjadi “salah semua”, kecuali NU.
Egosentrisme organisasi atau paham dalam beragama mesti dihindari. Sifat ananiyah (egois dan merasa benar sendiri) dicela dalam Islam. Jika sifat negatif ini dipelihara nanti seperti Fir’aun yang mengatakan, “Ana robbukumul a’la” atau seperti Louis XlV yang berujar, “L’etat cest moi.” Semua bermula dari “Aku” dan berujung pada akhir kehidupan yang buruk.
Sesama Muslim harus saling mengingatkan, agar ia tidak terperosok dalam kezaliman yang membawa kerugian di dunia dan akhirat.
Moga ucapan ini hanya “Slip of the tounge”. Namun jika “tounge” kita sering “slip” maka perlulah rasanya kita memperbanyak istighfar.
Astaghfirullaah al ‘azhiim.
Bandung, 29 Januari 2019
-Penulis adalah Ketua Masyarakat Unggul (MAUNG) Bandung