-CATATAN M RIZAL FADHILLAH, SH-
Kita teringat dahulu zaman PKI yang menggelindingkan hoaks “Dewan Jenderal” untuk melindungi upaya percobaan kudetanya yang gagal. Moga bukan “PKI baru” yang juga sekarang memainkan isu hoaks di negeri ini.SALAM-ONLINE: Ketika peristiwa ledakan dahsyat 9/11 (11 September 2001) meluluhlantakkan gedung pencakar langit (menara kembar) WTC di New York, tuduhan langsung diarahkan kepada Osama bin Laden dengan Al-Qaidahnya. Banyak yang meragukan kebenaran tuduhan yang dilakukan AS, CIA dan Mossad tersebut. Sebagian meyakini pekerjaan canggih ini dilakukan oleh Zionis Yahudi yang bermain dengan intelijen Amerika sendiri.
Mossad dan CIA memang sudah dikaitkan dengan serangan 11 September 2001 itu sejak dulu. Selain itu, indikasi yang pernah disebut adalah tidak satu pun dari 3.000 pegawai Yahudi masuk kerja pada hari kejadian. Tidak mungkin 3.000 orang sakit atau cuti secara bersamaan, tanpa ada sesuatu di baliknya. (detik.com, Rabu, 11/3/2009 07:14 WIB).
Tapi tuduhan “strategis” itu tetap berjalan dan stigma “teroris” dilekatkan pada Osama dan Al-Qaidah. Dunia Islam diobrak-abrik oleh AS dan sekutunya. Penguasa di dunia Islam berkolaborasi dengan komandan gerakan AS dan operasi “anti-terorisme”. Berbiaya AS pula. Teror ledakan “ini dan itu” di berbagai belahan dunia terjadi. Diduga merupakan bagian dari rekayasa negara induk. “Terorisme” menjadi “hantu” dunia.
Kejutan terjadi. Ternyata tuduhan AS itu benar bohongnya. CIA kini menyatakan secara terbuka bahwa tuduhan itu hoaks. Direktur CIA Gina Haspel menyatakan permintaan maaf kepada keluarga Osama bin Laden atas tuduhan tidak benar tersebut. Keluarga Osama dijanjikan mendapat ganti rugi sebagai wujud permintaan maaf tersebut. Inilah Hoks besar.
Indonesia kini sedang mengalami “demam politik” menjelang 17 April. Suhu meningkat dan pilpres menjadi perhatian utama. Pileg mengikuti. Ada semangat tinggi untuk “ganti presiden”. Apresiasi publik terus menguat. Petahana bekerja keras untuk membuat ritme strategi. Bertahan atau menyerang.
Yang menarik adalah stigma hoaks ikut menyertai. Sekurangnya ada dua peristiwa hoaks yang muncul, yaitu pengakuan bohong Ratna Sarumpaet dan kedatangan kartu suara “tercoblos” dalam kontainer di Tanjung Priok. Nampaknya permainan politik tinggi sedang bergerak.
Mengingat kedua kasus itu belum naik ke proses peradilan, maka publik belum mengetahui duduk perkara sebenarnya. Cuma yang selalu diangkat dan dituduh menyebarkan hoaks adalah pasangan “penantang”. Dan tentu saja dibantah kubu oposisi itu. Meski lucu juga “drama” ini. Sebab, jika satu pihak dituduh sebagai penyebar, lalu pihak mana yang memang pembuat. Memang kita sedang masuk ke dalam ruang hoaks.
Aturan UU ITE yang rawan menimbulkan masalah dan korban adalah Pasal 28 ayat (1) yang berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik” ancamannya penjara 6 tahun dan denda 1 miliar rupiah. UU tidak menjelaskan makna “bohong dan menyesatkan”.
UU ITE tidak mengatur sanksi bagi “pelaku” dan apalagi “penuduh” yang tak terbukti tuduhannya. Seharusnya mendapat sanksi yang jauh lebih berat sebagai efek jera. Yang ironi adalah penyebar berita bohong dan menyesatkan bisa diproses pemeriksaannya, padahal ia saat menyebarkan tidak mengetahui status berita itu bohong atau tidak. Inilah titik rawan “masuknya” kepentingan politik untuk memukul lawan politiknya itu.
Belajar dari kasus “terorisme” yang dikelola “apik” oleh AS, maka kita tak berharap ada pihak yang juga memainkan isu “hoaks” untuk kekuasaan politik. Kita teringat dahulu zaman PKI yang menggelindingkan hoaks “Dewan Jenderal” untuk melindungi upaya percobaan kudetanya yang gagal. Moga bukan “PKI baru” yang juga sekarang memainkan isu hoaks di negeri ini.
-Penulis adalah Ketua Masyarakat Unggul (MAUNG) Bandung Institute