-Catatan M Rizal Fadillah-SALAM-ONLINE: Kemungkinan menjelang atau selama Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) 14-28 Juni 2019 Kemenkominfo akan melakukan pemblokiran medsos kembali terjadi sebagaimana saat dan pasca aksi 21-22 Mei. Menurut Menteri Kominfo Rudiantara, eskalasi lalu lintas dunia maya akan dipantau dahulu.
Soal rencana pemblokiran ini menjadi bahan pembicaraan pro dan kontra. Efek dari kebijakan ini dapat merugikan banyak pihak, bukan saja yang berkaitan atau berkepentingan dengan persidangan MK. Dunia bisnis pun bisa berteriak sebagaimana saat peristiwa 21-22 Mei yang lalu. Jual beli online saja rugi 681 Milyar. Belum lagi pelaku bisnis lain.
Efektivitas pemblokiran atau pencekikan akses internet perlu dievaluasi. Pembatasan yang dinilai memberangus kebebasan berekspresi ini benarkah memberi manfaat signifikan. Sebahaya apa negara terancam. Menurut pengamat keamanan siber Pratama Persadha dari Communication Information System Security Research Center (CISSReC), blokir yang dilakukan itu tidak efektif.
Jika masalah konten hoaks yang jadi masalah justru nantinya Pemerintah yang lebih dominan dicitrakan sebagai penyebar hoaks. Informasi yang difokuskan pada media TV tidak dipercaya. Beberapa lelucon justru menggambarkan penghancuran TV karena jengkel. Berita selalu satu versi, versi Pemerintah.
Sebenarnya via medsos, baik itu WhatsApp, Facebook, Instagram maupun Twitter, masyarakat sudah bisa membedakan mana hoaks atau bukan. Ada sistem yang mengontrol “back mind” netizen untuk menyeleksi sebaran informasi.
Ada tiga hal negatifnya Pemerintah memblokir akses internet di samping jelas merugikan secara materiil bisnis penjualan online dan bisnis lainnya.
Pertama, rezim Jokowi yang dikesankan mengarah pada pola pemerintahan otoriter mendapat justifikasi. Pemblokiran atau pembatasan informasi medsos telah mengurangi hak-hak masyarakat untuk berekspresi atau menerima informasi.
Kedua, melanggar UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Informasi via medsos termasuk sarana akses kebijakan publik. Bukankah tujuan UU ini adalah mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik yaitu transparan, efektif dan efisien, akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan. Menutup akses adalah pelanggaran.
Ketiga, ketika alasan pada “membahayakan pertahanan dan keamanan negara” maka indikatornya harus jelas. Tidak bisa secara sewenang-wenang dan semaunya sendiri Pemerintah via Kementerian menetapkan “bahaya” itu.
Dalam hukum kebijakan yang benar harus dibuat dalam produk hukum Perppu agar masyarakar dapat memahami dasar dan pertanggungjawaban dari “bahaya” tersebut.
Di saat ini HP dengan akses internetnya menjadi alat komunikasi dan informasi penting bahkan terpenting yang melekat pada warga, maka pembatasan-pembatasan mestilah dilakukan dan didasarkan pada aturan hukum. Jika tidak, maka sistem politik yang sedang berjalan ini akan terus dipertanyakan. Apakah anti demokrasi, demokrasi yang terpimpin, atau demokrasi itu semata pencitraan?
Blokir medsos merupakan bagian dari perampasan hak publik. Karenanya bisa digugat secara hukum, apalagi kerugian materiil yang terukur bisa dibuktikan. Pada kerugian non materiil yang dirasakan masyarakat maka itu pun adalah pelanggaran HAM. Bangsa dan dunia berhak untuk mengutuk.
Bandung, 10 Juni 2019
-Penulis adalah pemerhati politik