SALAM-ONLINE: Meikarta CEO Lippo James Riady dan Jababeka Presdir Djuandi Darmono. Dua pengusaha keturunan yang kini mencuat. James Riady “ditekan” Pemerintah via KPK yang hingga kini masih berjalan kasusnya. Yang jelas James Riady “diam” tidak bisa kabur dari kendali “inner circle” kekuasaan.
Darmono justru sebaliknya. Dia bukan hanya “penurut”, tetapi juga bisa macem-macem. Baru baru ini Darmono mengusulkan agar Pemerintah Jokowi menghapus pelajaran agama dari bangku sekolah dan digantikan oleh mata pelajaran budi pekerti.
Sementara Meikarta terbentur perizinan. Akibat ketidaklancaran proses, maka proyek menjadi terbengkalai. Meski pemasaran jor-joran dan berbiaya tinggi namun sia-sia. Dinilai kerugiannya cukup besar. Akan tetapi masalah utama adalah proses hukum yang harus dijalankan. Soal suap-suapan yang “dibongkar”. Kini sudah ditetapkan 9 tersangka, termasuk Direktur Operasional Lippo Billy Sindoro dan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin. Beberapa pejabat Pemprov Jawa Barat juga mulai disebut-sebut terkait. Kasus Meikarta bisa terus menyandera James Riady.
Jababeka cukup lancar dengan ekspansi cukup gencar. Proyek Kawasan Industri di Cikarang adalah yang utama. Bahkan menjadi kawasan industri pertama yang masuk bursa efek Jakarta dan Surabaya pada tahun 1994. Mengembangkan industri pariwisata di Tanjung Lesung 200 Km Jakarta dan Kawasan Kota Mandiri di Kabupaten Kendal. Menggaet 20 investor Cina Taiwan untuk pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di Morotai Maluku Utara. Menyasar Bengkulu, Bangka Belitung dan Cirebon. Di samping itu Darmono juga mendirikan President University di Cikarang.
Hebohnya adalah usulannya kepada Pemerintah Jokowi tentang penghapusan pendidikan agama yang diganti budi pekerti. Bahkan dengan tuduhan agama itu memecah belah, alat politik, hingga radikalisme menandai kiprah tahapan lanjut pengusaha atau konglomerat keturunan dari sekadar bisnis memasuki ruang politik. Kita ingat juga taipan media Hary Tanoesoedibjo yang telah lebih dahulu berkiprah di dunia politik. Dahulu para taipan hanya “bermain belakang” untuk urusan politik. Namun kini sudah mulai berani terang-terangan melangkah dalam akses dan proses politik. Mungkin kondisi ini dibantu oleh iklim bisnis dan politik yang semakin terbuka antara Indonesia dengan RRC.
Pesatnya ekspasi Jababeka dengan fasilitas Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) tentu perlu diwaspadai. Meikarta yang awalnya mengagumkan ternyata menyimpan borok. Karenanya bukan mustahil Jababeka juga punya masalah yang belum terkuak. Untuk itu lembaga-lembaga pengawasan lebih khusus KPK juga harus jeli mengikuti perjalanan perusahaan besar yang biasa dekat dengan aspek kolusi dan korupsi ini. Apakah hal ini berkaitan dengan perizinan, pajak, lahan, penanaman modal, atau lainnya.
Keberanian pemilik Jababeka menyinggung hal sensitif di luar bidang bisnis, yakni persoalan keagamaan, kebangsaan, dan kenegaraan patut diduga adanya “hidden agenda” atau mungkin proteksi yang berhubungan dengan kekuasaan. Dugaan yang wajar saja dan pantas disikapi dengan kewaspadaan oleh pihak-pihak yang berkompeten. Jangan biarkan pebisnis semakin berani mengacak-acak stabilitas negeri ini.
*) Pemerhati Politik
Bandung, 7 Juli 2019