Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Owner PT Jababeka sekaligus pendiri President University Cikarang Setyono Djuandi Darmono mengusulkan Pemerintah untuk mengganti pelajaran agama di sekolah menjadi budi pekerti.
Usulan “berani” ini tentu menimbulkan reaksi publik. Pelajaran agama dinafikan manfaatnya dan dikembalikan ke “rumah” masing-masing keluarga. Budi pekerti lebih universal dan homogeny, bisa diajarkan pada penganut agama apa saja. Demikian kilahnya.
Simplifikasi aspek keagamaan arahnya bisa pada sekularisasi yang diawali di bangku pendidikan lalu berimplikasi luas pada kehidupan segala bidang.
Menurut pandangan Darmono, karena agama diajarkan di kursi pendidikan, maka agama menjadi alat kepentingan politik sekaligus penyebab terjadinya perpecahan antar anak bangsa. Sedemikian negatifnya pendidikan agama dalam visi Darmono. Sederhana sekali, apalagi alternatifnya adalah budi pekerti.
Dahulu memang ada diskursus tentang mata pelajaran budi pekerti. Tetapi itu untuk menambah pelajaran agama, bukan pengganti.
Sangat keliru jika pendidikan agama diganti oleh budi pekerti, karena:
Pertama, melanggar Pancasila. Sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Ada hubungan manusia dengan Tuhan dan hal ini hanya ada pada agama. Agama selalu mengaitkan ajaran kehidupan profan dengan aspek imanen. Kehidupan dan pertanggungjawaban setelah mati. Jika pendidikan hanya berbasis kemanusiaan yaitu budi pekerti, maka nilai-nilai ketuhanan menjadi sirna.
Kedua, salah besar bahwa budi pekerti itu universal, homogen dan mempersatukan. Nilai nilai kebaikan “manusiawi” yang dikenal dengan budi pekerti pun sebenarnya spasial dan temporal. Bahkan nuansa kedaerahan sangat berpengaruh terhadap perbedaan. Etis di satu tempat belum tentu untuk tempat yang lain. Belum lagi nilai-nilai budi pekerti itu terbatas, sulit dikategorikan dalam strata yang meningkat. Pelajaran SD sama saja dengan SLTP atau SLTA. Budi pekerti untuk Perguruan Tinggi lebih sulit lagi pola pembedaannya. Berbeda dengan agama yang dapat dibuat kurikulum bertahap dan meningkat.
Ketiga, budi pekerti itu sempit dan formal. Mengatur perilaku sangat normatif. Agama, apalagi Islam, di samping normatif atau mungkin dogmatik, juga dapat bersifat fungsional. Agama bisa membangun etos kerja, agama dapat menata kehidupan ekonomi atau politik yang konstruktif, agama mendorong kebaikan ruhani dan jasmani. Budi pekerti hanya bersandar pada nilai-nilai susila. Tidak menjadi inti dari pengembangan apapun. Sekadar kebaikan sikap. Anak harus menghormati orang tua, orang sakit dijenguk atau anjing haus diberi minum.
Darmono terpaksa dipertanyakan basis keagamaannya. Karena agama yang dianut berpengaruh terhadap cara berpikir dan bersikap. Mungkin saja dunia profan Darmono di bidang usaha yang sukses itu berpengaruh. Membuang agama sebagai paradigma adalah khas materialisme yang ke sananya komunisme. Semua bertumpu pada hubungan interaksi manusiawi semata. Ini yang dikenal dengan paham “anthroposentrisme”. Manusia menjadi pusat segalanya. Tuhan tidak ada atau tak berpengaruh.
Atau, jika dia menganut agama yang sekuler “Berikan Kaisar haknya Kaisar dan Tuhan haknya Tuhan”, maka layak jika agama di tempatkan di rumah saja, tidak berada pada pergaulan social, termasuk ruang pendidikan. Agama dipahami hanya urusan mati dan masa nanti. Tak ada fungsi agama untuk manfaat kini. Agama semata soal dosa dan pahala yang bersanksi pasca kematian.
“Kini” hanya momen untuk optimalisasi eksploitasi diri demi kebahagiaan duniawi.
Pandangan dan usul Darmono bukan untuk Indonesia yang warganegaranya menganut agama, melainkan untuk di daerah pedalaman yang sama sekali tak tersentuh ilmu pengetahuan dan teknologi serta peradaban. Karena iptek dan sipilisasi kini pun mulai bersandar pada agama. Sekadar tahu saja.
*) Pemerhati Politik dan Agama
Bandung, 6 Juli 2019