Catatan M Rizal Fadillah*)
SALAM-ONLINE: Seorang teman ASN di daerah mendapat undangan ajakan dari temannya di Pusat untuk ikut upacara 17 Agustusan di Istana. Dia tidak mau dengan berseloroh jika Prabowo Presiden baru mau dengan senang hati ke Jakarta. Tapi karena bukan Prabowo ya enggan.
“Terus terang tak nyaman jika Inspektur Upacara-nya Pak Jokowi,” katanya. Ia merasakan seolah ada sesuatu yang “tercuri”. Memang, itu adalah sikap hati. Sikap jiwa merdeka pejabat, profesional atau rakyat.
Jokowi memang mesti mulai introspeksi lagi berkaitan dengan tingkat penerimaan dan kewibawaan sebagai Presiden. Memang, tidak benar secara hukum memperolok-olok Presiden, akan tetapi banyak alasan yang menyebabkan banyak warga dan rakyat melakukannya.
Berat menerima Jokowi sebagai Presiden “terpilih”. Ada yang masih mengganjal, baik atas kinerja selama menjabat selama ini, keterpilihan yang kontroversial maupun ketidakoptimisan masa depan di bawah kepemimpinannya. Terbayang kebijakan ke depan yang tidak matang, main “kartu” dan para Menteri yang jalan sendiri-sendiri. Pemerintahan pun bergoyang, gonjang ganjing.
Kembali ke hari kemerdekaan yang diperingati 17 Agustus. Dengan fenomena “serbuan” investasi, utang luar negeri dan tenaga kerja dari negara Cina, membuat agak hambar makna kemerdekaan ini. Paradigma kemandirian menjadi aneh karena kebijakan impor yang seenaknya. Rencana pemindahan Ibu kota ke Kalimantan tanpa persetujuan DPR akan menyedot biaya besar. Nampaknya Cina lagi sebagai andalan pendanaannya.
Wajah Indonesia sedang kusam. Permainan tarik tambang tak seceria dahulu karena tambang kita telah ditarik-tarik asing. Lomba panjat pinang tidak bisa sampai ke puncak yang licin luar biasa. “Martabat” merosot terus. Barang di atas melambai semakin tinggi dengan “harga” tak terjangkau. Lomba makan kerupuk mata tertutup kini kerupuknya kena pajak. Mata pedih terpapar bawang impor. Balap karung pun sudah menjadi lomba mengisi karung kerakusan sehingga korupsi merajalela di mana mana yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan dan pemilik modal.
Jika tanah dikuasai asing dan aseng, HPH sedikit saja dimiliki oleh pengusaha bangsa sendiri. Perumahan elite hanya sedikit yang dihuni pribumi. Pabrik tekstil “Pak Haji” ambruk dan dijual ke pengusaha keturunan Cina. Mall dan lapangan olah raga orang “melayu” seimbang dengan yang berkulit dan bermata berbeda.
Lalu program One Belt One Road memfasilitasi RRC dan banyak agenda kerja sama dengan Pemerintah Cina, maka sulit untuk mengatakan bangsa ini hebat, berdikari, sejahtera, serta berdaulat yang “dari, oleh dan untuk” rakyat.
Negara dimerdekakan oleh pejuang bangsa sendiri tapi dicuri oleh penjajah ekonomi. Kolonialisme baru. Dari ekonomi bergeser ke politik. Penguasa yang berkolusi atau berkolaborasi dengan pengusaha ekonomi asing dan aseng. Memburu rente dan komisi dari investasi dan utang luar negeri. Rekening gendut yang disembunyikan. Penjajahan kini dilakukan oleh para kapitalis. Mereka adalah pencuri kemerdekaan.
Satu lagi yang dicuri, yakni nilai Islam. Soekarno memilih tanggal 17 karena itu jatuh hari Jum’at “sayyidul ayyam”, bertepatan dengan taggal Nuzulul-Qur’an, turunnya Al-Qur’an pada 17 Ramadhan, serta shalat 17 Raka’at. Ada spirit Islam. Pemuda “penculik” ingin memaksa proklamasi tanggal 16 Agustus namun Soekarno bertahan di angka 17. Lalu terjadilah proklamasi di hari agung pada bulan suci Ramadhan tersebut.
Namun pencuri mengambil nilai Islam dan membuangnya. Menuduh radikal dan intoleran. Memanipulasi peran ulama, habib, santri dan umat Islam. Sekularisasi adalah jalan sesat para pencuri kemerdekaan.
Para pencuri kemerdekaan kini sibuk berbagi bancakan. Seolah negara ini dimerdekakan oleh mereka sendiri sehingga merasa paling berhak untuk menguasai, mengeksploitasi dan menikmati. Sisa-sisa baru dilempar kepada masyarakat kebanyakan. Saatnya pencuri itu dipenjara atau dipotong kesempatannya agar tidak terus menjajah dan menguras aset bangsa demi perut keluarga atau kroninya sendiri.
*)Pemerhati Politik
17 Agustus 2019