SALAM-ONLINE: Dalam hitungan hari ada tiga peristiwa dialami masyarakat dan negara kita, yaitu erupsi Gunung Tangkuban Perahu, Gempa Banten serta padam listrik di sejumlah wilayah Pulau Jawa, termasuk Jabodetabek, Banten, sebagian Jawa Barat dan Jateng.
Soal error di Ungaran, Turbin Suralaya dan Turbin Cilegon, meski PLN telah meminta maaf, namun peristiwa itu menjadi pengalaman berharga dalam “menyambut” Dirut PLN baru.
Dengan sedikit “guncangan” saja masyarakat menjadi panik. Tak terbayang jika itu adalah “guncangan” besar langsung dari Allah, maka tak mampu manusia berbuat apa-apa. Banyak peristiwa membuktikan ketidakberdayaan tersebut. Sebelumnya ada juga “guncangan” Bank Mandiri dan Pertamina.
Ujungnya tentu hal ini menjadi peringatan kepada pemimpin negara tentang cara mengurus rakyat. Walau dia atau mereka biasanya tak mau disalahkan. Kritikan publik terarah pada cara menangani negara. Sampai soal padam listrik dikomparasikan dengan Menteri Ekonomi Korsel yang mengundurkan diri karena malu merasa bersalah dan merugikan banyak orang.
Berbeda dengan kita meski sudah tercium “padam moral” berupa korupsi, juga masih terus saja menjabat. Malah ingin jadi Menteri lagi. Maju terus pantang mundur.
Sebenarnya UU Perlindungan Konsumen mengatur kewajiban PLN untuk mengganti kerugian kepada konsumen. Hanya saja kita skeptis. Boro-boro mengganti kerugian konsumen, PLN saja masih berdalih terus merugi.
Guncangan letusan gunung dan gempa menjadi tadzkirah (peringatan) untuk meluruskan perilaku taat kepada Allah, hidup maksiat dikurangi serta meningkatkan tanggung jawab untuk memberantas kezaliman.
Padamnya listrik juga pengingat bahwa betapa rawannya sistem jaringan kelistrikan. Apabila ada sabotase, lalu mati untuk beberapa jam yang lebih lama, maka bisa merontokkan banyak sendi. Ini perlu evaluasi dan investigasi serius. Presiden tentu tak bisa bilang “bukan urusan saya”. Di saat rawan justru instruksi dan sikap Presiden harus jelas. Perangkat teknis dapat minta maaf, tapi kebijakan mesti jelas. Presiden harus hadir di tengah peristiwa.
Bencana atau musibah baik “alam” maupun error “manusia” harus disikapi dengan spiritual dan langkah rasional. Sebab model padamnya listrik dapat menyebabkan “habis gelap terbitlah terang” atau “habis terang terbitlah gelap”.
Dalam konteks Islam, ini berhubungan dengan kepemimpinan. Pemimpin “ilahiah”, yakni Allah sebagai sentral, “yukhrijuhum minazh-zhulumaati ilan nuur” yang mengeluarkan dari gelap pada terang. Sedangkan kepemimpinan “berhala”, thogut-lah yang jadi ikutan. Syaitan akan “yukhrijuunahum minan nuuri ilazh-zhulumaat”, yaitu mengeluarkan dari terang kepada kegelapan.
Sikap dan kebijakan pemimpin yang selalu mementingkan diri dan menyusahkan rakyat adalah “dark leadership”—kepemimpinan bersisi gelap yang berkarakter narsistik, machiavellis dan psikopatik. Pengikut syaithan. Na’uudzubillaah.
*)Pemerhati Sosial-Politik
5 Agustus 2019